(Tulisan (aslinya) ini, dimuat di harian Pikiran Rakyat tgl 8 April 2011 )
Sebagai orang awam kami merasa heran dengan berita-berita belakangan ini yang menyoroti PNS, Birokrat dan Parlemen.
PNS dan Anggota TNI/Polri per 1 April baru saja mendapat kenaikan gaji, beberapa media meberitakan alasan kenaikan ini antara lain yang menyebutkan inflasi / dalam rangka menetralisasi lonjakan inflasi / itu bentuk kompensasi dari inflasi yang terjadi. Pemerintah menaikkan gaji para pegawainya supaya daya beli tidak tergerus / daya beli tetap terjaga. Sejak Oktober 2010, DPR dan Kementerian Keuangan telah sepakat untuk meningkatkan belanja pegawai sebesar Rp 18 triliun dalam APBN 2011. Total belanja pegawai di 2011 naik menjadi Rp 180 triliun dari Rp 162 triliun di 2010. Namun jika harga-harga barang ikut naik maka netralisasi inflasi tersebut akan sia-sia, bahkan “masyarakat” pun tidak dapat menikmati kenaikan gajinya.
Hal di atas memeperlihatkan bentuk perlakuan khusus negara terhadap sebagian dari warga negara yang ditimbulkan oleh suatu dampak perekonomian. Tapi yang namanya warga negara (“masyarakat”) itu kan tidak hanya PNS, ada yang bukan PNS dan jumlahnya lebih banyak serta kondisi ekonominya juga banyak yang tidak baik, BPS pun lebih paham soal ini dan jelas hasil sensus penduduk kemarin tidaklah semua warga negara Indonesia itu PNS kan? Kalau pemerintah menaikkan gaji para pegawainya supaya daya beli pegawainya tidak tergerus lalu bagaimana soal daya beli non PNS, non birokrat atau non parlementer?. Bayangkan mereka (masyarakat yang belum tentu alami kenaikan gaji) atau yang ekonominya sudah sulit akan ditambah lagi dengan kenaikan harga-harga yang tak terkendali. Apa ada teori kebijakan ekonomi dan kesejahteraan yang akan dipakai oleh negara untuk kelompok masyarakat ini?
Pada berita harian Pikiran Rakyat 6 April 2011 diberitakan bahwa Ketua Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan negara telah dirugikan Rp 3,87 Triliun melalui laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan lembaga lain pengelola keuangan negara. Kaitkanlah hal ini dengan soal kenaikan gaji di atas, pantaskah? Mungkin bisa ditambahkan pula dengan soal DPRD Jabar minta perbaharui fasilitas kendaraan dinas seharga Rp 2 miliar lebih atau soal gedung DPR baru itu atau dalam hal kurang evaluasi memutuskan suatu kebijakan, misalnya soal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang sudah dicanangkan tapi kemudian karena hanya memperbesar beban biaya bagi siswa dan sekarang mau dikembalikan lagi statusnya ke sekolah umum. Korupsi dan contoh pengambilan kebijakan yang tidak terevaluasi dengan matang, apakah ini bukti janji-janji para penguasa & pimpinan negara saat rakyat mau datang ke TPS.
PNS, birokrat dan parlemen adalah subjek negara non profit, mereka tidak menggerak-kan pertumbuhan ekonomi mereka kebanyakan adalah pelayan masyarakat tapi anggaran negara ( yang juga tak sedikit sumbernya dari hutang luar negeri itu ) dialokasikan terbesar buat mereka bukannya lebih buat hal-hal yang bisa ciptakan pergerakan ekonomi yang nyata, lalu korupsi begitu besar di sana. Kalau memang harus dialokasikan anggaran yang begitu besar buat mereka, tentunya standar profesionalisme dan model –model sanksi berat dalam pelanggaran pelaksanaan tugas mereka, seperti hukuman mati karena korupsi dan pembuktian terbalik harta kekayaan adalah keharusan . Atau apakah memang perlu harus sebesar itu porsi anggaran buat para “pelayan” ini, kami yakin harus dievaluasi lagi dan juga soal-soal: memaknai dengan mendalam “menjadi pelayan masyarakat”, perlu/tidaknya pemekaran organisasi pemerintahan dan apakah semua mau jadi pelayan masyarakat karena PNS, birokrat & parlemen itu adalah lapangan pekerjaan primadona ?
The Power Of Islamic Media Information
Tentang Segala Hal Yang Bisa Menjadikan Media Informasi Sebagai Kekuatan Untuk Memobilisasi Dan Mengubah Opini Dan Cara Berpikir.
Jumat, 22 April 2011
Senin, 28 Februari 2011
Dana BOS Kota Cimahi dan Garansi Kepada Masyarakat
(Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat tgl 28 Februari 2011)
Tulisan Asli :
Dengan cairnya dana BOS untuk Kota Cimahi pada akhir bulan Februari ini, seperti kebanyakan masyarakat yang juga dihadapkan pada kondisi ekonomi sekarang ini yang kurang menguntungkan dan juga akan masuknya proses tahun ajaran baru yang mana akan dialami para orang tua siswa. Sebagai orang tua dan warga masyarakat, kami berharap pemda dan wakil rakyat mendukung untuk dipublikasikannya nama-nama sekolah penerima dana BOS juga untuk aspek pengawasannya agar tidak ada pungutan-pungutan ilegal maupun penyalahgunaan wewenang dan tujuan penggunaan dana.
Sebagaimana pernyataan Wali Kota Cimahi yang memperingatkan setiap sekolah untuk tidak memungut apapun jika memberatkan orang tua siswa. Demikian pula Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi yang mengatakan walau dana BOS tidak terlalu besar tapi tidak bisa dijadikan alasan oleh sekolah untuk memungut pendanaan dari orang tua siswa tanpa persetujuan bersama . Sekolah tak boleh memungut apapun jika memberatkan orang tua siswa.
Semua pernyataan ini bagi masyarakat bukan sekedar pernyataan biasa tapi suatu pernyataan yang mengadung makna garansi dan jaminan penuh, yang diberikan pemda kepada masyarakat dan tentunya konsekwensinya pihak bersangkutan sadar betul akan sanksinya, jika terjadi atau ada aduan pelanggaran. Sekaligus pula ini bisa menyadarkan masyarakat atas ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah , bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara, yang antara lain meliputi: (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, (g) asas akuntabilitas, (h) asas efisiensi, (i) asas efektifitas.
Semoga dana BOS benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang memang membutuhkannya. Dalam pelaksanaannya terbuka, profesional, akuntabilitas terjamin, proporsional ( pelaksanaannya harus menguntungkan semua pihak/tidak memberatkan satu sisi ) serta benar-benar terbukti / terlaporkan dan terpublikasikan atas efisiensi dan efektifitasnya.
Dengan demikian kami, orang tua tidak lagi terkena baban tambahan masalah ekonomi/keuangan baru yang hanya menambah pusing kepala, terkait urusan sekolah dan tahun ajaran baru bagi anak-anak kami.
Tulisan Asli :
Dengan cairnya dana BOS untuk Kota Cimahi pada akhir bulan Februari ini, seperti kebanyakan masyarakat yang juga dihadapkan pada kondisi ekonomi sekarang ini yang kurang menguntungkan dan juga akan masuknya proses tahun ajaran baru yang mana akan dialami para orang tua siswa. Sebagai orang tua dan warga masyarakat, kami berharap pemda dan wakil rakyat mendukung untuk dipublikasikannya nama-nama sekolah penerima dana BOS juga untuk aspek pengawasannya agar tidak ada pungutan-pungutan ilegal maupun penyalahgunaan wewenang dan tujuan penggunaan dana.
Sebagaimana pernyataan Wali Kota Cimahi yang memperingatkan setiap sekolah untuk tidak memungut apapun jika memberatkan orang tua siswa. Demikian pula Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi yang mengatakan walau dana BOS tidak terlalu besar tapi tidak bisa dijadikan alasan oleh sekolah untuk memungut pendanaan dari orang tua siswa tanpa persetujuan bersama . Sekolah tak boleh memungut apapun jika memberatkan orang tua siswa.
Semua pernyataan ini bagi masyarakat bukan sekedar pernyataan biasa tapi suatu pernyataan yang mengadung makna garansi dan jaminan penuh, yang diberikan pemda kepada masyarakat dan tentunya konsekwensinya pihak bersangkutan sadar betul akan sanksinya, jika terjadi atau ada aduan pelanggaran. Sekaligus pula ini bisa menyadarkan masyarakat atas ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah , bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara, yang antara lain meliputi: (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, (g) asas akuntabilitas, (h) asas efisiensi, (i) asas efektifitas.
Semoga dana BOS benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang memang membutuhkannya. Dalam pelaksanaannya terbuka, profesional, akuntabilitas terjamin, proporsional ( pelaksanaannya harus menguntungkan semua pihak/tidak memberatkan satu sisi ) serta benar-benar terbukti / terlaporkan dan terpublikasikan atas efisiensi dan efektifitasnya.
Dengan demikian kami, orang tua tidak lagi terkena baban tambahan masalah ekonomi/keuangan baru yang hanya menambah pusing kepala, terkait urusan sekolah dan tahun ajaran baru bagi anak-anak kami.
Jumat, 18 Februari 2011
Tidak Hanya Soal Ciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama
Peristiwa kerusuhan terkait Jemaat Ahmadiyah yang baru terjadi di Cikeusik tentu sangat memprihatinkan dan mengusik kerukunan hidup masyarakat, kehidupan beragama khususnya.
Agama itu sendiri adalah pegangan dan pedoman dalam tiap langkah kehidupan bagi manusia dan sangat pribadi sifat dan perannya di dalam diri seorang manusia yang menganutnya. Negara, pemuka agama dan masyarakat adalah pihak-pihak yang punya peran dan tanggungjawab dalam kehidupan beragama agar bisa berjalan rukun dan damai. Kita tak boleh lupa juga bahwa agama berpotensi berkembang ke dalam bentuk aliran-aliran.
Indonesia merupakan negara yang punya kemajemukan suku dan agama, negara jamin dan lindungi masyarakatnya dalam melaksanakan segala hal terkait agamanya. Kerukunan antar umat beragama adalah keadaan yang mutlak diperlukan dan dijaga. Diantara kemajemukan itu Tuhan kebetulan takdirkan negeri ini sebagai negara yang sebagian besar penduduknya mayoritas menganut agama Islam.
Kerukunan hidup bergama telah beberapa kali ternodai dan mengakibatkan masalah yang serius dan mengancam kesatuan NKRI. Banyak yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan menjaga agar langgeng kerukunan itu tapi tetap saja peristiwa itu terulang. Sepertinya pihak-pihak yang mempunyai peran dan tanggungjawab agar kehidupan beragama bisa berjalan rukun dan damai masih belum cukup berbuat dan berusaha.
Negara harus menegaskan dan mempunyai batasan melalui perundangan tentang agama-agama mana saja yang diakui dan dapat hidup di Indonesia dan bagaimana penganut agama bisa melaksanakan apa yang benar-benar diperintahkan agamanya Pemuka agama harus dapat berpegang teguh pada sumber-sumber asli kemurnian agama dalam melaksanakan perannya terutama di dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam berdakwah agar masyarakat dapat memiliki keteguhan atas apa yang diyakininya dan tidak mudah goyah dan terpengaruh bentuk-bentuk yang mungkin saja sudah keluar dari keaslian dan kemurnian agama sumbernya. Dengan pembatasan dan ketegasan tentang agama-agama mana saja yang diakui dan dapat hidup di Indonesia dan penganut agama dipastikan bisa melaksanakan apa yang benar-benar diperintahkan agamanya lalu pemuka agama juga menjalankan perannya dengan baik seperti yang dimaksud tadi, tentunya masyarakat tak perlu resah atau bahkan bertindak anarkis jika ada kejadian seperti di atas itu, cukup negara dan perangkat hukumnya bekerja sama dengan pemuka agama mengajak kembali mereka ke dalam agama yang benar.
Departemen Agama kiranya memerlukan sebuah unit kerja yang khusus menangani jika hal seperti ini terjadi, terkait mekanisme penyadaran kembali, pembinaan dan mengajak kembali kaum yang mungkin tersesat tersebut. Negara dengan perangkat hukumnya yang didasari perundangan maupun peraturan terkait SARA yang tegas akan punyai landasan kuat dalam hal mengambil tindakan. Namun yang terjadi sekarang seperti kegalauan dan kebimbangan dalam menanggapi kejadian-kejadian seperti yang dimaksud di atas. Sangat diperlukan ketegasan dan peraturan yang memayungi, jika tidak maka bukan kerukunan beragama yang terjadi namun kekhawatiran potensi konflik antar umat bergama terus menghantui.
Bila ada kaum yang telah keluar dari sumber asli dan kemurnian agamanya tidaklah tepat untuk diminta bertoleransi di dalam kehidupan bergama maupun bermasyarakat, tidaklah tepat juga untuk meminta masyarakat di luar kaum itu agar toleran dan diminta untuk menerima mereka. Tapi justru harus diupayakan untuk dibina dan diajak kembali ke asalnya sesuai agama maupun kepercayaan yang telah diakui oleh negara melalui perundangan maupun peraturan.
Inilah yang dimaksud bahwa tidak cukup hanya soal bagaimana menciptakan kerukunan dalam kehidupan antar umat bergama tapi juga ada tugas penting dan berat ditengah arus modernisasi sekarang ini bagi negara dan pemuka agama kepada masyarakat, yaitu memperkokoh, meneguhkan keimanan dan keyakinan masyarakat terhadap agamanya atas dasar sumbernya yang asli dan murni sehingga tidak terpengaruh oleh hal-hal di luarnya yang mungkin sudah keluar dari keaslian dan kemurnian agamannya. Jika kita justru membiarkan mereka tersesat atau memberi toleransi bahkan mengajak masyarakat juga bertoleransi pada mereka maka tanpa disadari kita telah membuka keran tumbuh suburnya aliran-aliran baru yang bisa jadi justru jauh diluar apa yang diajarakan oleh agama itu sendiri.
Adalah suatu kenyataan bahwa dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam walau bukan sebuah negara Islam, Syariat Islam di Indonesia menjadi penting . Sebagai umat beragama, rakyat Indonesia yang sebagian besar muslim itu banyak mengharapkan Syariat Islam berperan dalam kehidupannya. Eksisnya Syariat Islam dan kebutuhan akan Syariat Islam dalam kehidupan pribadi seorang muslim yang mana juga ingin terekspresikan dalam kehidupan bermasyarakat menjadi kenyatan yang tumbuh pesat dengan sendirinya.
Negara Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara tidaklah dapat menolak eksisnya Syariat Islam karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa daerah telah menerapkan Syariat Islam lewat peraturan daerah/perda Pada dasarnya semua agama juga yang ada di Indonesia adalah baik, tidaklah perlu khawatir akan Syariat Islam bagi siapa pun dan tidak perlu menempatkannya pada hirarki tertinggi perundangan, cukup masukan dalam perda, terapkan saja pada daerah-daerah berpenduduk mayoritas muslim, non muslim tidak perlu khawatir karana ini mengikat kaum muslim dan apa yang dianut (agama) non muslim juga diakui oleh semua pihak di dalam negeri ini sebagai sumber kebaikan dan pedoman dalam berprilaku dan berkehidupan maupun bermasyarakat. Tentunya akhirnya kerukunan dan kedamaian, karena masing-masing saling meghargai dan menjalankan perintah agamanya yang tentunya dengan benar! Negara atau siapapun tak perlu menolak ataupun takut akannya, negara tak kan bisa dan tak perlu halangi suatu hal yang baik apalagi itu merupakan bagian dari agama yang dianut mayoritas penduduknya, biarkanlah dan dukunglah dengan peraturan agar Syariat Islam itu terus tumbuh dan diterapkan walau secara perlahan sesuai urgensinya, dia adalah bagian dari agama dan karena sangat pribadi sifat dan perannya di dalam diri seorang manusia maka tak diragukan lagi dia adalah salah satu ‘sarana awal’ pembentuk kepribadian dan akhlak manusia yang baik dan akan menyebarlah kebaikan itu ke dalam semua bentuk-bentuk kehidupan di dalam keluarga, masyarakat dan bangsa.
Agama itu sendiri adalah pegangan dan pedoman dalam tiap langkah kehidupan bagi manusia dan sangat pribadi sifat dan perannya di dalam diri seorang manusia yang menganutnya. Negara, pemuka agama dan masyarakat adalah pihak-pihak yang punya peran dan tanggungjawab dalam kehidupan beragama agar bisa berjalan rukun dan damai. Kita tak boleh lupa juga bahwa agama berpotensi berkembang ke dalam bentuk aliran-aliran.
Indonesia merupakan negara yang punya kemajemukan suku dan agama, negara jamin dan lindungi masyarakatnya dalam melaksanakan segala hal terkait agamanya. Kerukunan antar umat beragama adalah keadaan yang mutlak diperlukan dan dijaga. Diantara kemajemukan itu Tuhan kebetulan takdirkan negeri ini sebagai negara yang sebagian besar penduduknya mayoritas menganut agama Islam.
Kerukunan hidup bergama telah beberapa kali ternodai dan mengakibatkan masalah yang serius dan mengancam kesatuan NKRI. Banyak yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan menjaga agar langgeng kerukunan itu tapi tetap saja peristiwa itu terulang. Sepertinya pihak-pihak yang mempunyai peran dan tanggungjawab agar kehidupan beragama bisa berjalan rukun dan damai masih belum cukup berbuat dan berusaha.
Negara harus menegaskan dan mempunyai batasan melalui perundangan tentang agama-agama mana saja yang diakui dan dapat hidup di Indonesia dan bagaimana penganut agama bisa melaksanakan apa yang benar-benar diperintahkan agamanya Pemuka agama harus dapat berpegang teguh pada sumber-sumber asli kemurnian agama dalam melaksanakan perannya terutama di dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam berdakwah agar masyarakat dapat memiliki keteguhan atas apa yang diyakininya dan tidak mudah goyah dan terpengaruh bentuk-bentuk yang mungkin saja sudah keluar dari keaslian dan kemurnian agama sumbernya. Dengan pembatasan dan ketegasan tentang agama-agama mana saja yang diakui dan dapat hidup di Indonesia dan penganut agama dipastikan bisa melaksanakan apa yang benar-benar diperintahkan agamanya lalu pemuka agama juga menjalankan perannya dengan baik seperti yang dimaksud tadi, tentunya masyarakat tak perlu resah atau bahkan bertindak anarkis jika ada kejadian seperti di atas itu, cukup negara dan perangkat hukumnya bekerja sama dengan pemuka agama mengajak kembali mereka ke dalam agama yang benar.
Departemen Agama kiranya memerlukan sebuah unit kerja yang khusus menangani jika hal seperti ini terjadi, terkait mekanisme penyadaran kembali, pembinaan dan mengajak kembali kaum yang mungkin tersesat tersebut. Negara dengan perangkat hukumnya yang didasari perundangan maupun peraturan terkait SARA yang tegas akan punyai landasan kuat dalam hal mengambil tindakan. Namun yang terjadi sekarang seperti kegalauan dan kebimbangan dalam menanggapi kejadian-kejadian seperti yang dimaksud di atas. Sangat diperlukan ketegasan dan peraturan yang memayungi, jika tidak maka bukan kerukunan beragama yang terjadi namun kekhawatiran potensi konflik antar umat bergama terus menghantui.
Bila ada kaum yang telah keluar dari sumber asli dan kemurnian agamanya tidaklah tepat untuk diminta bertoleransi di dalam kehidupan bergama maupun bermasyarakat, tidaklah tepat juga untuk meminta masyarakat di luar kaum itu agar toleran dan diminta untuk menerima mereka. Tapi justru harus diupayakan untuk dibina dan diajak kembali ke asalnya sesuai agama maupun kepercayaan yang telah diakui oleh negara melalui perundangan maupun peraturan.
Inilah yang dimaksud bahwa tidak cukup hanya soal bagaimana menciptakan kerukunan dalam kehidupan antar umat bergama tapi juga ada tugas penting dan berat ditengah arus modernisasi sekarang ini bagi negara dan pemuka agama kepada masyarakat, yaitu memperkokoh, meneguhkan keimanan dan keyakinan masyarakat terhadap agamanya atas dasar sumbernya yang asli dan murni sehingga tidak terpengaruh oleh hal-hal di luarnya yang mungkin sudah keluar dari keaslian dan kemurnian agamannya. Jika kita justru membiarkan mereka tersesat atau memberi toleransi bahkan mengajak masyarakat juga bertoleransi pada mereka maka tanpa disadari kita telah membuka keran tumbuh suburnya aliran-aliran baru yang bisa jadi justru jauh diluar apa yang diajarakan oleh agama itu sendiri.
Adalah suatu kenyataan bahwa dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam walau bukan sebuah negara Islam, Syariat Islam di Indonesia menjadi penting . Sebagai umat beragama, rakyat Indonesia yang sebagian besar muslim itu banyak mengharapkan Syariat Islam berperan dalam kehidupannya. Eksisnya Syariat Islam dan kebutuhan akan Syariat Islam dalam kehidupan pribadi seorang muslim yang mana juga ingin terekspresikan dalam kehidupan bermasyarakat menjadi kenyatan yang tumbuh pesat dengan sendirinya.
Negara Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara tidaklah dapat menolak eksisnya Syariat Islam karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa daerah telah menerapkan Syariat Islam lewat peraturan daerah/perda Pada dasarnya semua agama juga yang ada di Indonesia adalah baik, tidaklah perlu khawatir akan Syariat Islam bagi siapa pun dan tidak perlu menempatkannya pada hirarki tertinggi perundangan, cukup masukan dalam perda, terapkan saja pada daerah-daerah berpenduduk mayoritas muslim, non muslim tidak perlu khawatir karana ini mengikat kaum muslim dan apa yang dianut (agama) non muslim juga diakui oleh semua pihak di dalam negeri ini sebagai sumber kebaikan dan pedoman dalam berprilaku dan berkehidupan maupun bermasyarakat. Tentunya akhirnya kerukunan dan kedamaian, karena masing-masing saling meghargai dan menjalankan perintah agamanya yang tentunya dengan benar! Negara atau siapapun tak perlu menolak ataupun takut akannya, negara tak kan bisa dan tak perlu halangi suatu hal yang baik apalagi itu merupakan bagian dari agama yang dianut mayoritas penduduknya, biarkanlah dan dukunglah dengan peraturan agar Syariat Islam itu terus tumbuh dan diterapkan walau secara perlahan sesuai urgensinya, dia adalah bagian dari agama dan karena sangat pribadi sifat dan perannya di dalam diri seorang manusia maka tak diragukan lagi dia adalah salah satu ‘sarana awal’ pembentuk kepribadian dan akhlak manusia yang baik dan akan menyebarlah kebaikan itu ke dalam semua bentuk-bentuk kehidupan di dalam keluarga, masyarakat dan bangsa.
Kamis, 11 November 2010
Memprediksi Krisis Ekonomi Indonesia 2014
(Tulisan Saya ini dimuat di Detik.Com sejak 11 November 2010)
Sejak tahun 1998/1999 Indonesia telah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Sepertinya akan terus bisa terulang. Apa pun alasannya, apapun bentuk komentar dan analisa yang dilontarkan pakar terhadap peristiwa krisis ekonomi, orang awam tak mau ambil pusing. Karena, yang lebih penting kenyataannya. Selalu masyarakat (terlebih masyarakat bawah) yang paling banyak menerima dampak merugikan dari peristiwa tersebut.
OECD (Organisation for Economic Cooperation Development) dan kelompok G 20 telah meminta Indonesia pada tahun 2014 menghapus subsidi bahan bakar (BBM) dan listrik. Untuk kemudian lebih berusaha meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat dan meningkatkan nilai sumber daya manusia dan mengurangi kemiskinan.
Kalau bisa diartikan tahun 2014 Indonesia sudah harus mencapai perekonomian yang stabil. Tapi, apakah mungkin terwujud? Tidak ada lagi perasaan kemahalan membeli bahan bakar, atau mahal dalam membayar listrik, membeli minyak goreng, dan lain-lain. Akankah rakyat saat itu terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang selama ini rutin menimpanya?
Hanya empat tahun menuju tahun 2014. Mari melihat hari ini. Berat sekali untuk meyakinkan diri dengan begitu banyak persoalan hari ini. Dari hari ke hari makin banyak pihak asing masuk, berperan, mengelola aset, sumber daya alam, dan badan usaha negara. Tapi, sedikit keuntungan imbal balik bagi kita untuk bisa dapat mandiri dalam mengelola apa yang kita miliki.
Biaya kebutuhan hidup sangat mudah bergerak naik. Sering terjadinya pengendalian harga sepihak atau spekulan menjadikan harga komuditas kebutuhan hidup rakyat begitu mudah dipermainkan dan mencekik rakyat walau operasi pasar dilakukan. Ditambah lagi rentenir yang kian berperan merugikan pedagang. Harga prasarana untuk menggerakan usaha kecil atau menengah yang kian mahal. Seperti listrik, bahan bakar, dan lain-lain.
Masih ada satu hal lagi yang menghancurkan keyakinan untuk bisa mencapai yang diinginkan di tahun 2014. Yaitu kehidupan bernegara. Isinya banyak sekali pemborosan. Tak terkontrolnya perilaku penyelenggara negara (penguasa dan parlemen), adanya KKN, rekayasa ide-ide terkait kekuasaan, fasilitas para penyelenggara negara, ongkos yang mahal untuk menghasilkan perudangan atau peraturan, studi banding, pemekaran wilayah, pilkada dengan money politic-nya yang tidak sedikit memunculkan pertikaian, kekerasan fisik di masyarakat bahkan adu domba.
Tercapainya tujuan politik sebenarnya adalah untuk memecahkan persoalan-persoalan pengangguran, kemiskinan atau meningkatkan perekonomian, dan rendahnya taraf pendidikan. Namun, justru diputar balik dijadikan alat tumpangan kepentingan politik golongan tertentu. Karena, kuatnya godaan peluang berada di kekuasaan itu bisa memperkaya diri maupun korupsi.
Semua itu cenderung tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan nasib rakyat. Tapi, kesibukan amat lebih terasa sekali di sini daripada kesibukan menghasilkan solusi bagi meningkatkan taraf perekonomian bangsa, meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan daya saing bangsa di dunia internasional. Sangat mudah memprediksi atau karena sudah terlihat dari persoalan-persoalan hari ini dan kemarin.
Dengan memperhatikan uraian di atas tadi yang ditambah pula akan ada peristiwa pemilu di tahun 2014, yang berdasarkan pengalaman terdahulu jika mendekati momentum ini akan banyak terjadi gejolak dan intrik yang akan terlihat dampaknya, setelah pemilu selesai seperti contohnya yang terlihat adalah kasus Bank Century. Maka kekhawatiran akan peristiwa dan mimpi buruk krisis ekonomi di waktu yang lalu akan terulang lagi.
Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan hari ini untuk mengantisipasi dan mencegah sesuatu hal buruk yang bisa terjadi di masa datang. Sebagai bangsa kita harus sadar terlebih dahulu kenyataan bahwa bangsa ini makin hari makin tergerus rasa percaya dirinya untuk bisa mandiri.
Kita harus berani menolak desakan OECD atau siapa pun tadi yang jelas merugikan kita. Tapi, kita juga harus siap jika keputusan itu diambil. Ini adalah hal yang klasik karena selalu membuat kita menyerah sebelum perang. Ya, karena kita tidak berani memulai memperbaiki diri dan meninggalkan hal-hal yang hanya membuang-buang waktu dan pemborosan karena telah terbelenggu konsep pencapaian-pencapaian atau kepentingan-kepentingan jangka pendek saja. Untuk kepentingan golongan tertentu saja, untuk pemenangan pemilu lima tahun ke depan saja, dst, dst.
Jurang antara si kaya dan si miskin kian lebar. Padahal, kita bisa mendapatkan solusi dari sini dengan berbagi. Beramal melalui rasa nasionalisme ingin memajukan bangsa ini. Si kaya lebih sadar untuk lebih banyak membantu si miskin. Lebih banyak menyumbangkan bagi pelatihan, pendidikan, dan modal usaha atau pun meringankan pinjaman bagi yang tidak mampu demi menggerakkan ekonomi dari bawah, merata, dan ke atas mencapai kemapanan.
Tidak melulu berpikir untuk pengembangan usaha si kaya saja. Atau bagi yang sudah dibantu setelah berhasil kemudian harus menjadi bagian dari kelompok usaha si kaya. Hal ini yang jika dibiarkan justru melahirkan monopoli.
Begitu banyak produk merek turunan dari luar negeri merajai pemasaran di negeri ini dibandingkan varian dari asli domestik. Harus dibuat kebijakan memberikan peluang bagi yang lemah atau usaha lokal menjadi varian. Agar produk yang sama hasil lokal, makin banyak bisa tampil ke permukaan dan dipakai. Penghormatan dan previlasi atas produk lokal atau daerah lebih ditingkatkan, ditunjang kebijakan.
Semisal suatu daerah bisa memproduksi sabun mandi dengan standar SNI yang sama dengan produk merek turunan dari luar negeri yang telah ada, mekanisme standar mutu hanya satu dan telah baku kita tak perlu ragu, maka varian produk hasil lokal itu diwajibkan dipakai di daerah tersebut.
Adanya kebebasan produk asing dengan standar yang sama di pasar domestik maka logikanya harus ada kebebasan juga bagi produk domestik untuk bergerak tumbuh atau dipakai. Kesadaran untuk selalu mau memakai dan memberi tempat bagi produk lokal lebih karena suatu kesadaran akan bisa memperkuat perekonomian domestik dan penghargaan karena kualitas yang sama atas produk.
Bukan karena kita beralasan membuat kebijakan memproteksi agar merek turunan asing tidak dipakai. Tapi, tujuannya untuk menciptakan "keseimbangan pasar". Hal mana yang sangat tidak dihormati dalam pasar bebas. Juga bukan semata karena merek turunan dari luar atau karena sekedar asing masuk sebagai pemegang saham ke dalam perusahaan produk lokal maka dianggap selalu terbaik. Atau bisa menjadi solusi bagi lebih banyak penyerapan lapangan kerja.
Hal ini tidak selalu benar. Justru kebijakan pembatasan diperlukan untuk eksisnya produk domestik dan penghargaan atas varian produk asli lokal tadi yang akan berdampak bagi pemerataan kesejahteraan dan perkuatan ekonomi domestik. Ciptakan, dukung dengan kebijakan, hargai, pakai, dan cintai yang kita buat sendiri.
Setiap negara punya hak untuk mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti negara-negara maju di sana. Apa pun sistem pasar yang didengungkan. Kita juga punya hak untuk keberatan atas hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dan tidak memajukan kehidupan kita. Karena, kondisi tiap negara pasti beberbeda.
Negara berkembang dan negara maju mempunyai aura dan tahapan proses terwujudnya kematangan perekonomian yang sangat berbeda satu sama lain. "Keseimbangan pasar" yang juga adalah hak asasi itu diperlukan oleh Indonesia untuk menghadapi pasar bebas. Mengapa ini tidak dijadikan alasan atau bahan negosiasi untuk menolak desakan organisasi-organisasi tadi.
Ini adalah hak asasi manusia. Organisasi dunia terbesar seperti PBB mengakui ini. Kita harus berani merumuskan ini dalam sikap politk luar negeri kita dan dalam tiap kongres perdagangan atau ekonomi dunia. Namun, sayangnya dalam setiap momentum internasional itu kita justru kedodoran. Tidak mampu merumuskan kepentingan ekonomi nasional yang harus diperjuangkan akibat lemahnya sumber daya manusia yang kompeten untuk itu. Juga untuk bisa bernegosiasi dan berdiplomasi. Kita selalu terseret mengikuti kemauan negara-negara maju yang mementingkan tujuannya sendiri.
Namun, semoga kita bisa mengambil yang terbaik di ajang internasional Summit Meeting G 20 di Korea Selatan. Tahun 2014 momentum politik akan diikuti momentum ekonomi yang telah bergerak dari hari ini. Jika keduanya tidak kunjung ada perbaikan maka benturan antara keduanya akan sangat merugikan stabilitas ekonomi dan yang paling berbahaya dampak terhadap stabilitas keamanan. Karena, paling sulit diprediksi bentuknya.
Sementara itu sangat diharapkan netralitas dan kemandirian TNI Polri karena melalui intelejen-nya dapat menyumbangkan solusi bahkan memberi aspek pencegahan akan terjadinya instabilitas keamanan. Belajar dari pengalaman setiap ajang program pilkada yang akan diadakan, melalui intelejen jauh-jauh hari, pemerintah telah menginfokan kepada publik antisipasi potensi terkait akan terjadinya instabilitas keamanan.
Artinya netralitas dan kemandirian TNI Polri akan memberi sumbangsih yang penting. Terlebih untuk masalah keamanan yang lebih besar atau nasional. Maka jangan pernah menuruti dan menanggapi lagi ide-ide untuk menarik TNI Polri ke ranah politik dalam perjalanan ke tahun 2014.
Mari menyambut tahun 2014 dengan berbekal pelajaran dari pengalaman dan kemauan kuat untuk introspeksi diri, dan memperbaiki diri. Terutama bagi pemimpin dan wakil rakyat. Jangan hanya berkreativitas untuk mengumpulkan dolar sebanyak-banyaknya. Atau sekedar demi meraih keuntungan jangka pendek atau pribadi di tahun 2014. Karena, penderitaan rakyat yang berakumulasi akan seperti sebuah bom waktu.
Sejak tahun 1998/1999 Indonesia telah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Sepertinya akan terus bisa terulang. Apa pun alasannya, apapun bentuk komentar dan analisa yang dilontarkan pakar terhadap peristiwa krisis ekonomi, orang awam tak mau ambil pusing. Karena, yang lebih penting kenyataannya. Selalu masyarakat (terlebih masyarakat bawah) yang paling banyak menerima dampak merugikan dari peristiwa tersebut.
OECD (Organisation for Economic Cooperation Development) dan kelompok G 20 telah meminta Indonesia pada tahun 2014 menghapus subsidi bahan bakar (BBM) dan listrik. Untuk kemudian lebih berusaha meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat dan meningkatkan nilai sumber daya manusia dan mengurangi kemiskinan.
Kalau bisa diartikan tahun 2014 Indonesia sudah harus mencapai perekonomian yang stabil. Tapi, apakah mungkin terwujud? Tidak ada lagi perasaan kemahalan membeli bahan bakar, atau mahal dalam membayar listrik, membeli minyak goreng, dan lain-lain. Akankah rakyat saat itu terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang selama ini rutin menimpanya?
Hanya empat tahun menuju tahun 2014. Mari melihat hari ini. Berat sekali untuk meyakinkan diri dengan begitu banyak persoalan hari ini. Dari hari ke hari makin banyak pihak asing masuk, berperan, mengelola aset, sumber daya alam, dan badan usaha negara. Tapi, sedikit keuntungan imbal balik bagi kita untuk bisa dapat mandiri dalam mengelola apa yang kita miliki.
Biaya kebutuhan hidup sangat mudah bergerak naik. Sering terjadinya pengendalian harga sepihak atau spekulan menjadikan harga komuditas kebutuhan hidup rakyat begitu mudah dipermainkan dan mencekik rakyat walau operasi pasar dilakukan. Ditambah lagi rentenir yang kian berperan merugikan pedagang. Harga prasarana untuk menggerakan usaha kecil atau menengah yang kian mahal. Seperti listrik, bahan bakar, dan lain-lain.
Masih ada satu hal lagi yang menghancurkan keyakinan untuk bisa mencapai yang diinginkan di tahun 2014. Yaitu kehidupan bernegara. Isinya banyak sekali pemborosan. Tak terkontrolnya perilaku penyelenggara negara (penguasa dan parlemen), adanya KKN, rekayasa ide-ide terkait kekuasaan, fasilitas para penyelenggara negara, ongkos yang mahal untuk menghasilkan perudangan atau peraturan, studi banding, pemekaran wilayah, pilkada dengan money politic-nya yang tidak sedikit memunculkan pertikaian, kekerasan fisik di masyarakat bahkan adu domba.
Tercapainya tujuan politik sebenarnya adalah untuk memecahkan persoalan-persoalan pengangguran, kemiskinan atau meningkatkan perekonomian, dan rendahnya taraf pendidikan. Namun, justru diputar balik dijadikan alat tumpangan kepentingan politik golongan tertentu. Karena, kuatnya godaan peluang berada di kekuasaan itu bisa memperkaya diri maupun korupsi.
Semua itu cenderung tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan nasib rakyat. Tapi, kesibukan amat lebih terasa sekali di sini daripada kesibukan menghasilkan solusi bagi meningkatkan taraf perekonomian bangsa, meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan daya saing bangsa di dunia internasional. Sangat mudah memprediksi atau karena sudah terlihat dari persoalan-persoalan hari ini dan kemarin.
Dengan memperhatikan uraian di atas tadi yang ditambah pula akan ada peristiwa pemilu di tahun 2014, yang berdasarkan pengalaman terdahulu jika mendekati momentum ini akan banyak terjadi gejolak dan intrik yang akan terlihat dampaknya, setelah pemilu selesai seperti contohnya yang terlihat adalah kasus Bank Century. Maka kekhawatiran akan peristiwa dan mimpi buruk krisis ekonomi di waktu yang lalu akan terulang lagi.
Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan hari ini untuk mengantisipasi dan mencegah sesuatu hal buruk yang bisa terjadi di masa datang. Sebagai bangsa kita harus sadar terlebih dahulu kenyataan bahwa bangsa ini makin hari makin tergerus rasa percaya dirinya untuk bisa mandiri.
Kita harus berani menolak desakan OECD atau siapa pun tadi yang jelas merugikan kita. Tapi, kita juga harus siap jika keputusan itu diambil. Ini adalah hal yang klasik karena selalu membuat kita menyerah sebelum perang. Ya, karena kita tidak berani memulai memperbaiki diri dan meninggalkan hal-hal yang hanya membuang-buang waktu dan pemborosan karena telah terbelenggu konsep pencapaian-pencapaian atau kepentingan-kepentingan jangka pendek saja. Untuk kepentingan golongan tertentu saja, untuk pemenangan pemilu lima tahun ke depan saja, dst, dst.
Jurang antara si kaya dan si miskin kian lebar. Padahal, kita bisa mendapatkan solusi dari sini dengan berbagi. Beramal melalui rasa nasionalisme ingin memajukan bangsa ini. Si kaya lebih sadar untuk lebih banyak membantu si miskin. Lebih banyak menyumbangkan bagi pelatihan, pendidikan, dan modal usaha atau pun meringankan pinjaman bagi yang tidak mampu demi menggerakkan ekonomi dari bawah, merata, dan ke atas mencapai kemapanan.
Tidak melulu berpikir untuk pengembangan usaha si kaya saja. Atau bagi yang sudah dibantu setelah berhasil kemudian harus menjadi bagian dari kelompok usaha si kaya. Hal ini yang jika dibiarkan justru melahirkan monopoli.
Begitu banyak produk merek turunan dari luar negeri merajai pemasaran di negeri ini dibandingkan varian dari asli domestik. Harus dibuat kebijakan memberikan peluang bagi yang lemah atau usaha lokal menjadi varian. Agar produk yang sama hasil lokal, makin banyak bisa tampil ke permukaan dan dipakai. Penghormatan dan previlasi atas produk lokal atau daerah lebih ditingkatkan, ditunjang kebijakan.
Semisal suatu daerah bisa memproduksi sabun mandi dengan standar SNI yang sama dengan produk merek turunan dari luar negeri yang telah ada, mekanisme standar mutu hanya satu dan telah baku kita tak perlu ragu, maka varian produk hasil lokal itu diwajibkan dipakai di daerah tersebut.
Adanya kebebasan produk asing dengan standar yang sama di pasar domestik maka logikanya harus ada kebebasan juga bagi produk domestik untuk bergerak tumbuh atau dipakai. Kesadaran untuk selalu mau memakai dan memberi tempat bagi produk lokal lebih karena suatu kesadaran akan bisa memperkuat perekonomian domestik dan penghargaan karena kualitas yang sama atas produk.
Bukan karena kita beralasan membuat kebijakan memproteksi agar merek turunan asing tidak dipakai. Tapi, tujuannya untuk menciptakan "keseimbangan pasar". Hal mana yang sangat tidak dihormati dalam pasar bebas. Juga bukan semata karena merek turunan dari luar atau karena sekedar asing masuk sebagai pemegang saham ke dalam perusahaan produk lokal maka dianggap selalu terbaik. Atau bisa menjadi solusi bagi lebih banyak penyerapan lapangan kerja.
Hal ini tidak selalu benar. Justru kebijakan pembatasan diperlukan untuk eksisnya produk domestik dan penghargaan atas varian produk asli lokal tadi yang akan berdampak bagi pemerataan kesejahteraan dan perkuatan ekonomi domestik. Ciptakan, dukung dengan kebijakan, hargai, pakai, dan cintai yang kita buat sendiri.
Setiap negara punya hak untuk mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti negara-negara maju di sana. Apa pun sistem pasar yang didengungkan. Kita juga punya hak untuk keberatan atas hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dan tidak memajukan kehidupan kita. Karena, kondisi tiap negara pasti beberbeda.
Negara berkembang dan negara maju mempunyai aura dan tahapan proses terwujudnya kematangan perekonomian yang sangat berbeda satu sama lain. "Keseimbangan pasar" yang juga adalah hak asasi itu diperlukan oleh Indonesia untuk menghadapi pasar bebas. Mengapa ini tidak dijadikan alasan atau bahan negosiasi untuk menolak desakan organisasi-organisasi tadi.
Ini adalah hak asasi manusia. Organisasi dunia terbesar seperti PBB mengakui ini. Kita harus berani merumuskan ini dalam sikap politk luar negeri kita dan dalam tiap kongres perdagangan atau ekonomi dunia. Namun, sayangnya dalam setiap momentum internasional itu kita justru kedodoran. Tidak mampu merumuskan kepentingan ekonomi nasional yang harus diperjuangkan akibat lemahnya sumber daya manusia yang kompeten untuk itu. Juga untuk bisa bernegosiasi dan berdiplomasi. Kita selalu terseret mengikuti kemauan negara-negara maju yang mementingkan tujuannya sendiri.
Namun, semoga kita bisa mengambil yang terbaik di ajang internasional Summit Meeting G 20 di Korea Selatan. Tahun 2014 momentum politik akan diikuti momentum ekonomi yang telah bergerak dari hari ini. Jika keduanya tidak kunjung ada perbaikan maka benturan antara keduanya akan sangat merugikan stabilitas ekonomi dan yang paling berbahaya dampak terhadap stabilitas keamanan. Karena, paling sulit diprediksi bentuknya.
Sementara itu sangat diharapkan netralitas dan kemandirian TNI Polri karena melalui intelejen-nya dapat menyumbangkan solusi bahkan memberi aspek pencegahan akan terjadinya instabilitas keamanan. Belajar dari pengalaman setiap ajang program pilkada yang akan diadakan, melalui intelejen jauh-jauh hari, pemerintah telah menginfokan kepada publik antisipasi potensi terkait akan terjadinya instabilitas keamanan.
Artinya netralitas dan kemandirian TNI Polri akan memberi sumbangsih yang penting. Terlebih untuk masalah keamanan yang lebih besar atau nasional. Maka jangan pernah menuruti dan menanggapi lagi ide-ide untuk menarik TNI Polri ke ranah politik dalam perjalanan ke tahun 2014.
Mari menyambut tahun 2014 dengan berbekal pelajaran dari pengalaman dan kemauan kuat untuk introspeksi diri, dan memperbaiki diri. Terutama bagi pemimpin dan wakil rakyat. Jangan hanya berkreativitas untuk mengumpulkan dolar sebanyak-banyaknya. Atau sekedar demi meraih keuntungan jangka pendek atau pribadi di tahun 2014. Karena, penderitaan rakyat yang berakumulasi akan seperti sebuah bom waktu.
Kamis, 28 Oktober 2010
DPRD = Pejabat Eksekutif Eselon II ?
JUDUL ASLI : DPRD = Pejabat Eksekutif Eselon II = Takut Miskin
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat 28 Oktober 2010 )
Membaca keinginan para wakil rakyat / DPRD diberi failitas, gaji dan pensiun seperti pejabat eksekutif eselon II sungguh menyedihkan dan sebuah ide yang boros.
Ini melukai hati rakyat, hal ini menjelaskan kepada rakyat betapa para wakil rakyat itu sudah salah kaprah memaknai pekerjaannya yang harusnya mengabdi dan mehasilkan solusi bagi masalah-masalah rakyat tapi yang terjadi justru menganggapnya sebagai tujuan pemantapan ekonomi pribadi. Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Sadu Wasistiono (Guru Besar IPDN), bahwa wakil rakyat seperti orang yang sedang bekerja untuk mencari uang.
Tapi yang lebih penting lagi hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa sumber masalah intinya adalah ‘kemiskinan’. Kemiskinan memang sudah menjadi hal yang menakutkan, merasuki sampai ke aspek psikologis seseorang. Ide itu mempertontontan kepada kita bahwa wakil rakyat bekerja karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan, dan berusaha mengumpulkan modal. Jiwa mereka takut akan kemiskinan. artinya mereka tidak memiliki empati terhadap masalah kemiskinan yang merupakan kopentensi dan modal mereka dalam bekerja mengabdi kepada rakyat untuk bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa menghasilkan solusi buat masalah rakyat yang terbesar yaitu menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan kalau para wakil rakyat itu sendiri takut miskin? . Pasti sangat menghawatirkan terlebih bagi wakil rakyat yang hanya lulusan SMA, setelah selesai masa pengabdian sebagai wakil rakyat tidak akan percaya diri mencari kerja dengan ijazah SMA atau menjadi pengangguran. Mereka jadi manja dan tidak kreatif. Masyarakat tahu mereka pula yang berkuasa membuat undang-undang dan peraturan, jelas saja hasilnya perundangan dan peraturan yang banyak akal-akalan untuk kepentingan tertentu dan mereka akan ogah dan sulit jika disuruh buat perudangan/peraturan efisiensi yang membatasi geraknya, seperti pembatasan / mekanisme masa pengabdian, tidak adanya uang pensiun bagi wakil rakyat, atau peraturan sanksi-sanksi atas buruknya kinerja wakil rakyat dll.
Harusnya proses rekruitmen wakil rakyat itu dilakukan dengan standar yang ketat dan dibuat peraturan mekanisme pengabdian dan pembatasan masa pengabdian dan mekanisme ajuan fasilitas wakil rakyat, sebaiknya tidak ada uang pensiun bagi wakil rakyat. Kalau mau cari uang bukan mau mengabdi kepada rakyat sebaiknya mereka buka warung / toko saja di rumah jangan membebani anggaran negara dengan berdalih mewakili kepentingan rakyat, karena masih banyak rakyat yang benar-benar membutuhkan bantuan.
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat 28 Oktober 2010 )
Membaca keinginan para wakil rakyat / DPRD diberi failitas, gaji dan pensiun seperti pejabat eksekutif eselon II sungguh menyedihkan dan sebuah ide yang boros.
Ini melukai hati rakyat, hal ini menjelaskan kepada rakyat betapa para wakil rakyat itu sudah salah kaprah memaknai pekerjaannya yang harusnya mengabdi dan mehasilkan solusi bagi masalah-masalah rakyat tapi yang terjadi justru menganggapnya sebagai tujuan pemantapan ekonomi pribadi. Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Sadu Wasistiono (Guru Besar IPDN), bahwa wakil rakyat seperti orang yang sedang bekerja untuk mencari uang.
Tapi yang lebih penting lagi hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa sumber masalah intinya adalah ‘kemiskinan’. Kemiskinan memang sudah menjadi hal yang menakutkan, merasuki sampai ke aspek psikologis seseorang. Ide itu mempertontontan kepada kita bahwa wakil rakyat bekerja karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan, dan berusaha mengumpulkan modal. Jiwa mereka takut akan kemiskinan. artinya mereka tidak memiliki empati terhadap masalah kemiskinan yang merupakan kopentensi dan modal mereka dalam bekerja mengabdi kepada rakyat untuk bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa menghasilkan solusi buat masalah rakyat yang terbesar yaitu menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan kalau para wakil rakyat itu sendiri takut miskin? . Pasti sangat menghawatirkan terlebih bagi wakil rakyat yang hanya lulusan SMA, setelah selesai masa pengabdian sebagai wakil rakyat tidak akan percaya diri mencari kerja dengan ijazah SMA atau menjadi pengangguran. Mereka jadi manja dan tidak kreatif. Masyarakat tahu mereka pula yang berkuasa membuat undang-undang dan peraturan, jelas saja hasilnya perundangan dan peraturan yang banyak akal-akalan untuk kepentingan tertentu dan mereka akan ogah dan sulit jika disuruh buat perudangan/peraturan efisiensi yang membatasi geraknya, seperti pembatasan / mekanisme masa pengabdian, tidak adanya uang pensiun bagi wakil rakyat, atau peraturan sanksi-sanksi atas buruknya kinerja wakil rakyat dll.
Harusnya proses rekruitmen wakil rakyat itu dilakukan dengan standar yang ketat dan dibuat peraturan mekanisme pengabdian dan pembatasan masa pengabdian dan mekanisme ajuan fasilitas wakil rakyat, sebaiknya tidak ada uang pensiun bagi wakil rakyat. Kalau mau cari uang bukan mau mengabdi kepada rakyat sebaiknya mereka buka warung / toko saja di rumah jangan membebani anggaran negara dengan berdalih mewakili kepentingan rakyat, karena masih banyak rakyat yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Jumat, 15 Oktober 2010
MENYIKAPI APBD PERUBAHAN 2010 KOTA CIMAHI
MENYIKAPI APBD PERUBAHAN 2010 KOTA CIMAHI
(Tulisan saya ini dimuat di Surat Pembaca harian Pikiran Rakyat 15 Oktober 2010, tapi saya kecewa karena tulisan & judul tulisan saya kemudian di edit oleh redaksi Pikiran Rakyat. Apakah ini pembungkaman suara rakyat?)
Selamat atas ditetapkannya APBD Perubahan 2010 Kota Cimahi, kiranya ini akan menjadi momentum penting tidak hanya bagi aparatur pemerintahan, wakil rakyat tapi juga bagi masyarakat kota Cimahi.
Penyerapan anggaran yang akan segera dilaksanakan dan direalisasikan kedalam hasil nyata bagi masyarakat kota Cimahi tidak bisa terlepas dari aspek kontrol / pengawasan dari masyarakat. Masyarakat harus ikut kritis terhadap penyerapan anggaran dan bukti-bukti hasilnya dilapangan, juga tentu diharapkan pengajuan-pengajuan anggaran dari perangkat daerah berangkat dari suatu kesadaran akan amanah yang memang diberikan untuk harus dijalankan dengan benar.
Diharapkan juga agar pemerintah daerah sering mempublikasikan kepada masyarakat hasil-hasil penyerapan anggaran yang telah dilakukan baik lewat media maupun pengumuman, agar transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik tetap terjaga atas realisasi maupun pengguanaan daripada anggaran. Semoga masyarakat Cimahi dan para wakil rakyat juga tidak segan-segan mengoreksi dan berani mengungkapkan jika menemui bukti-bukti ketidak beresan dalam pelaksanaan dan realisasi hal ini dan bagi yang dapat mengungkapkan dan menemukan bukti-bukti haruslah disokong, mendapat perlindungan hukum dan perlindungan dari wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan dan keadilan bagi rakyat.
Berangkat dari berita pada harian Pikiran Rakyat 13 Oktober 2010, di mana melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan telah terjadi kerugian negara dan daerah sebesar 26 triliun, dengan berbagai bentuk modus, seperti belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, termasuk proses pemahalan harga (mark-up), penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, pembayaran honorarium, dan/atau perjalanan dinas ganda serta spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dll. Masyarakat Cimahi tentu tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi di kotanya dan para aparatur & perangkat pemerintahan diharapkan sadar bahwa kredibiltas dan prestasinya dipertaruhkan dimata masyarakat dalam hal ini.
(Tulisan saya ini dimuat di Surat Pembaca harian Pikiran Rakyat 15 Oktober 2010, tapi saya kecewa karena tulisan & judul tulisan saya kemudian di edit oleh redaksi Pikiran Rakyat. Apakah ini pembungkaman suara rakyat?)
Selamat atas ditetapkannya APBD Perubahan 2010 Kota Cimahi, kiranya ini akan menjadi momentum penting tidak hanya bagi aparatur pemerintahan, wakil rakyat tapi juga bagi masyarakat kota Cimahi.
Penyerapan anggaran yang akan segera dilaksanakan dan direalisasikan kedalam hasil nyata bagi masyarakat kota Cimahi tidak bisa terlepas dari aspek kontrol / pengawasan dari masyarakat. Masyarakat harus ikut kritis terhadap penyerapan anggaran dan bukti-bukti hasilnya dilapangan, juga tentu diharapkan pengajuan-pengajuan anggaran dari perangkat daerah berangkat dari suatu kesadaran akan amanah yang memang diberikan untuk harus dijalankan dengan benar.
Diharapkan juga agar pemerintah daerah sering mempublikasikan kepada masyarakat hasil-hasil penyerapan anggaran yang telah dilakukan baik lewat media maupun pengumuman, agar transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik tetap terjaga atas realisasi maupun pengguanaan daripada anggaran. Semoga masyarakat Cimahi dan para wakil rakyat juga tidak segan-segan mengoreksi dan berani mengungkapkan jika menemui bukti-bukti ketidak beresan dalam pelaksanaan dan realisasi hal ini dan bagi yang dapat mengungkapkan dan menemukan bukti-bukti haruslah disokong, mendapat perlindungan hukum dan perlindungan dari wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan dan keadilan bagi rakyat.
Berangkat dari berita pada harian Pikiran Rakyat 13 Oktober 2010, di mana melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan telah terjadi kerugian negara dan daerah sebesar 26 triliun, dengan berbagai bentuk modus, seperti belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, termasuk proses pemahalan harga (mark-up), penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, pembayaran honorarium, dan/atau perjalanan dinas ganda serta spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dll. Masyarakat Cimahi tentu tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi di kotanya dan para aparatur & perangkat pemerintahan diharapkan sadar bahwa kredibiltas dan prestasinya dipertaruhkan dimata masyarakat dalam hal ini.
Kamis, 29 Juli 2010
Cermati Pajak Reklame Dinding Kota Cimahi
Cermati Pajak Reklame Dinding Kota Cimahi
(Tulisan Saya ini dimuat di harian Pikiran Rakyat tanggal 20 Juli 2010)
Membaca berita harian Pikiran Rakyat Senin 26 Juli 2010, saya sebagai warga Cimahi sangat terkejut dengan adanya rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding di kota Cimahi.
Pengertian yang tertulis diberita bahwa reklame dinding adalah alat peraga yang menggunakan dinding rumah atau toko sebagai ajang promosi produk. Walau dalam Perda No.6/2003 istilah reklame dinding belum ada namun telah dimasukan dalam klasifikasi untuk akan dikenakan pajak dan pemda Cimahi melalui Satpol PP –nya telah melakukan pendataan reklame dinding.
Keterkejutan saya adalah tidak adanya pertimbangan kondisi kekinian dalam rencana pajak reklame dinding ini. Saat ini masyarakat sangat terbebani dengan naiknya harga-harga terutama bahan pokok dan juga tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di kota Cimahi. Tentunya tidak sedikit warga Cimahi yang membuka usaha dengan modal pas-pasan atau usaha kecil-kecilan, juga menggunakan sarana dinding rumahnya sebagai promosi produk usaha atau jualannya.
Harus dibedakan dan didata masyarakat yang membuka usaha dengan modal kecil atau dari golongan ekonomi pas-pasan, atau mereka korban PHK yang mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan mereka yang memang pengusaha bermodal besar. Selayaknya pengenaan pajak reklame dinding tidak untuk rakyat yang berkondisi ekonomi lemah. Pasalnya, beban hidup mereka sudah berat akibat harga-harga naik, ditambah lagi dengan dikenakan pajak yang tidak adil terhadap spanduk yang mempromosikan barang yang dijual, yang kebetulan diletakkan di dinding rumahnya.
Sepertinya uji potensi pajak kota Cimahi tidak berjalan dengan bijak jika pajak reklame yang merupakan salah satu sumber PAD maupun pajak daerah kemudian diaplikasikan begitu saja. Sementara kriteria reklame dindingnya saja belum ada di perda. Jangan sampai kehilangan akal mencari potensi pajak, tetapi tetap harus mempertimbangkan dan meneliti kondisi perekonomian rakyat juga.
Sebagai warga Cimahi, saya berharap tidak dibebani dengan hal-hal yang seperti ini. Saya yakin warga Cimahi setuju dengan usaha-usaha mencari potensi pajak di kotanya tapi tidak akan setuju jika pengenaan pajak terhadap masyarakat / publik tanpa pengkajian yang mendalam ataupun pengkajian akademik terlebih dahulu.
Masyarakat harus diinformasikan dan dijelaskan maksud dan latar belakangnya sebelum setiap kebijakan publik dilaksanakan. Silahkan Satpol PP dijadikan alat untuk mendata hal-hal menyangkut pelaksanaan kebijakan publik. Namun jika pendataan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang terkait pengenaan pajak, perlu sekali pendataan tambahan terhadap latar belakang kondisi ekonomi masyarakat, tidak boleh mendata begitu saja. Jika memang Satpol PP yang ditugaskan, berarti Satpol PP memerlukan tambahan kompetensi kemampuan ilmu hubungan masyarakat yang lebih luwes dalam tugas-tugas seperti ini.
Saya juga berharap seluruh masyarakat dan juga parlemen Kota Cimahi agar peduli dan kritis terhadap rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding ini. Peduli dan juga mendorong terhadap terlaksananya penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di kota Cimahi, agar masyarakat mengetahui pungutan-pungutan dan pajak serta penggunaan anggaran yang memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Sudah tidak zamannya lagi masyarakat tidak kritis terhadap kinerja pemerintah dan parlemen. Kekuasaan itu ditangan rakyat, rakyat telah begitu besar mewakilkan dan mendelegasikan kekeuasaannya kepada parlemen dan pimpinan daerah. Dengan demikian jangan sampai amanah itu tidak untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
(Tulisan Saya ini dimuat di harian Pikiran Rakyat tanggal 20 Juli 2010)
Membaca berita harian Pikiran Rakyat Senin 26 Juli 2010, saya sebagai warga Cimahi sangat terkejut dengan adanya rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding di kota Cimahi.
Pengertian yang tertulis diberita bahwa reklame dinding adalah alat peraga yang menggunakan dinding rumah atau toko sebagai ajang promosi produk. Walau dalam Perda No.6/2003 istilah reklame dinding belum ada namun telah dimasukan dalam klasifikasi untuk akan dikenakan pajak dan pemda Cimahi melalui Satpol PP –nya telah melakukan pendataan reklame dinding.
Keterkejutan saya adalah tidak adanya pertimbangan kondisi kekinian dalam rencana pajak reklame dinding ini. Saat ini masyarakat sangat terbebani dengan naiknya harga-harga terutama bahan pokok dan juga tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di kota Cimahi. Tentunya tidak sedikit warga Cimahi yang membuka usaha dengan modal pas-pasan atau usaha kecil-kecilan, juga menggunakan sarana dinding rumahnya sebagai promosi produk usaha atau jualannya.
Harus dibedakan dan didata masyarakat yang membuka usaha dengan modal kecil atau dari golongan ekonomi pas-pasan, atau mereka korban PHK yang mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan mereka yang memang pengusaha bermodal besar. Selayaknya pengenaan pajak reklame dinding tidak untuk rakyat yang berkondisi ekonomi lemah. Pasalnya, beban hidup mereka sudah berat akibat harga-harga naik, ditambah lagi dengan dikenakan pajak yang tidak adil terhadap spanduk yang mempromosikan barang yang dijual, yang kebetulan diletakkan di dinding rumahnya.
Sepertinya uji potensi pajak kota Cimahi tidak berjalan dengan bijak jika pajak reklame yang merupakan salah satu sumber PAD maupun pajak daerah kemudian diaplikasikan begitu saja. Sementara kriteria reklame dindingnya saja belum ada di perda. Jangan sampai kehilangan akal mencari potensi pajak, tetapi tetap harus mempertimbangkan dan meneliti kondisi perekonomian rakyat juga.
Sebagai warga Cimahi, saya berharap tidak dibebani dengan hal-hal yang seperti ini. Saya yakin warga Cimahi setuju dengan usaha-usaha mencari potensi pajak di kotanya tapi tidak akan setuju jika pengenaan pajak terhadap masyarakat / publik tanpa pengkajian yang mendalam ataupun pengkajian akademik terlebih dahulu.
Masyarakat harus diinformasikan dan dijelaskan maksud dan latar belakangnya sebelum setiap kebijakan publik dilaksanakan. Silahkan Satpol PP dijadikan alat untuk mendata hal-hal menyangkut pelaksanaan kebijakan publik. Namun jika pendataan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang terkait pengenaan pajak, perlu sekali pendataan tambahan terhadap latar belakang kondisi ekonomi masyarakat, tidak boleh mendata begitu saja. Jika memang Satpol PP yang ditugaskan, berarti Satpol PP memerlukan tambahan kompetensi kemampuan ilmu hubungan masyarakat yang lebih luwes dalam tugas-tugas seperti ini.
Saya juga berharap seluruh masyarakat dan juga parlemen Kota Cimahi agar peduli dan kritis terhadap rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding ini. Peduli dan juga mendorong terhadap terlaksananya penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di kota Cimahi, agar masyarakat mengetahui pungutan-pungutan dan pajak serta penggunaan anggaran yang memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Sudah tidak zamannya lagi masyarakat tidak kritis terhadap kinerja pemerintah dan parlemen. Kekuasaan itu ditangan rakyat, rakyat telah begitu besar mewakilkan dan mendelegasikan kekeuasaannya kepada parlemen dan pimpinan daerah. Dengan demikian jangan sampai amanah itu tidak untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Langganan:
Postingan (Atom)