(Tulisan Saya ini dimuat di Detik.Com sejak 11 November 2010)
Sejak tahun 1998/1999 Indonesia telah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Sepertinya akan terus bisa terulang. Apa pun alasannya, apapun bentuk komentar dan analisa yang dilontarkan pakar terhadap peristiwa krisis ekonomi, orang awam tak mau ambil pusing. Karena, yang lebih penting kenyataannya. Selalu masyarakat (terlebih masyarakat bawah) yang paling banyak menerima dampak merugikan dari peristiwa tersebut.
OECD (Organisation for Economic Cooperation Development) dan kelompok G 20 telah meminta Indonesia pada tahun 2014 menghapus subsidi bahan bakar (BBM) dan listrik. Untuk kemudian lebih berusaha meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat dan meningkatkan nilai sumber daya manusia dan mengurangi kemiskinan.
Kalau bisa diartikan tahun 2014 Indonesia sudah harus mencapai perekonomian yang stabil. Tapi, apakah mungkin terwujud? Tidak ada lagi perasaan kemahalan membeli bahan bakar, atau mahal dalam membayar listrik, membeli minyak goreng, dan lain-lain. Akankah rakyat saat itu terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang selama ini rutin menimpanya?
Hanya empat tahun menuju tahun 2014. Mari melihat hari ini. Berat sekali untuk meyakinkan diri dengan begitu banyak persoalan hari ini. Dari hari ke hari makin banyak pihak asing masuk, berperan, mengelola aset, sumber daya alam, dan badan usaha negara. Tapi, sedikit keuntungan imbal balik bagi kita untuk bisa dapat mandiri dalam mengelola apa yang kita miliki.
Biaya kebutuhan hidup sangat mudah bergerak naik. Sering terjadinya pengendalian harga sepihak atau spekulan menjadikan harga komuditas kebutuhan hidup rakyat begitu mudah dipermainkan dan mencekik rakyat walau operasi pasar dilakukan. Ditambah lagi rentenir yang kian berperan merugikan pedagang. Harga prasarana untuk menggerakan usaha kecil atau menengah yang kian mahal. Seperti listrik, bahan bakar, dan lain-lain.
Masih ada satu hal lagi yang menghancurkan keyakinan untuk bisa mencapai yang diinginkan di tahun 2014. Yaitu kehidupan bernegara. Isinya banyak sekali pemborosan. Tak terkontrolnya perilaku penyelenggara negara (penguasa dan parlemen), adanya KKN, rekayasa ide-ide terkait kekuasaan, fasilitas para penyelenggara negara, ongkos yang mahal untuk menghasilkan perudangan atau peraturan, studi banding, pemekaran wilayah, pilkada dengan money politic-nya yang tidak sedikit memunculkan pertikaian, kekerasan fisik di masyarakat bahkan adu domba.
Tercapainya tujuan politik sebenarnya adalah untuk memecahkan persoalan-persoalan pengangguran, kemiskinan atau meningkatkan perekonomian, dan rendahnya taraf pendidikan. Namun, justru diputar balik dijadikan alat tumpangan kepentingan politik golongan tertentu. Karena, kuatnya godaan peluang berada di kekuasaan itu bisa memperkaya diri maupun korupsi.
Semua itu cenderung tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan nasib rakyat. Tapi, kesibukan amat lebih terasa sekali di sini daripada kesibukan menghasilkan solusi bagi meningkatkan taraf perekonomian bangsa, meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan daya saing bangsa di dunia internasional. Sangat mudah memprediksi atau karena sudah terlihat dari persoalan-persoalan hari ini dan kemarin.
Dengan memperhatikan uraian di atas tadi yang ditambah pula akan ada peristiwa pemilu di tahun 2014, yang berdasarkan pengalaman terdahulu jika mendekati momentum ini akan banyak terjadi gejolak dan intrik yang akan terlihat dampaknya, setelah pemilu selesai seperti contohnya yang terlihat adalah kasus Bank Century. Maka kekhawatiran akan peristiwa dan mimpi buruk krisis ekonomi di waktu yang lalu akan terulang lagi.
Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan hari ini untuk mengantisipasi dan mencegah sesuatu hal buruk yang bisa terjadi di masa datang. Sebagai bangsa kita harus sadar terlebih dahulu kenyataan bahwa bangsa ini makin hari makin tergerus rasa percaya dirinya untuk bisa mandiri.
Kita harus berani menolak desakan OECD atau siapa pun tadi yang jelas merugikan kita. Tapi, kita juga harus siap jika keputusan itu diambil. Ini adalah hal yang klasik karena selalu membuat kita menyerah sebelum perang. Ya, karena kita tidak berani memulai memperbaiki diri dan meninggalkan hal-hal yang hanya membuang-buang waktu dan pemborosan karena telah terbelenggu konsep pencapaian-pencapaian atau kepentingan-kepentingan jangka pendek saja. Untuk kepentingan golongan tertentu saja, untuk pemenangan pemilu lima tahun ke depan saja, dst, dst.
Jurang antara si kaya dan si miskin kian lebar. Padahal, kita bisa mendapatkan solusi dari sini dengan berbagi. Beramal melalui rasa nasionalisme ingin memajukan bangsa ini. Si kaya lebih sadar untuk lebih banyak membantu si miskin. Lebih banyak menyumbangkan bagi pelatihan, pendidikan, dan modal usaha atau pun meringankan pinjaman bagi yang tidak mampu demi menggerakkan ekonomi dari bawah, merata, dan ke atas mencapai kemapanan.
Tidak melulu berpikir untuk pengembangan usaha si kaya saja. Atau bagi yang sudah dibantu setelah berhasil kemudian harus menjadi bagian dari kelompok usaha si kaya. Hal ini yang jika dibiarkan justru melahirkan monopoli.
Begitu banyak produk merek turunan dari luar negeri merajai pemasaran di negeri ini dibandingkan varian dari asli domestik. Harus dibuat kebijakan memberikan peluang bagi yang lemah atau usaha lokal menjadi varian. Agar produk yang sama hasil lokal, makin banyak bisa tampil ke permukaan dan dipakai. Penghormatan dan previlasi atas produk lokal atau daerah lebih ditingkatkan, ditunjang kebijakan.
Semisal suatu daerah bisa memproduksi sabun mandi dengan standar SNI yang sama dengan produk merek turunan dari luar negeri yang telah ada, mekanisme standar mutu hanya satu dan telah baku kita tak perlu ragu, maka varian produk hasil lokal itu diwajibkan dipakai di daerah tersebut.
Adanya kebebasan produk asing dengan standar yang sama di pasar domestik maka logikanya harus ada kebebasan juga bagi produk domestik untuk bergerak tumbuh atau dipakai. Kesadaran untuk selalu mau memakai dan memberi tempat bagi produk lokal lebih karena suatu kesadaran akan bisa memperkuat perekonomian domestik dan penghargaan karena kualitas yang sama atas produk.
Bukan karena kita beralasan membuat kebijakan memproteksi agar merek turunan asing tidak dipakai. Tapi, tujuannya untuk menciptakan "keseimbangan pasar". Hal mana yang sangat tidak dihormati dalam pasar bebas. Juga bukan semata karena merek turunan dari luar atau karena sekedar asing masuk sebagai pemegang saham ke dalam perusahaan produk lokal maka dianggap selalu terbaik. Atau bisa menjadi solusi bagi lebih banyak penyerapan lapangan kerja.
Hal ini tidak selalu benar. Justru kebijakan pembatasan diperlukan untuk eksisnya produk domestik dan penghargaan atas varian produk asli lokal tadi yang akan berdampak bagi pemerataan kesejahteraan dan perkuatan ekonomi domestik. Ciptakan, dukung dengan kebijakan, hargai, pakai, dan cintai yang kita buat sendiri.
Setiap negara punya hak untuk mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti negara-negara maju di sana. Apa pun sistem pasar yang didengungkan. Kita juga punya hak untuk keberatan atas hal-hal yang kita anggap tidak sesuai dan tidak memajukan kehidupan kita. Karena, kondisi tiap negara pasti beberbeda.
Negara berkembang dan negara maju mempunyai aura dan tahapan proses terwujudnya kematangan perekonomian yang sangat berbeda satu sama lain. "Keseimbangan pasar" yang juga adalah hak asasi itu diperlukan oleh Indonesia untuk menghadapi pasar bebas. Mengapa ini tidak dijadikan alasan atau bahan negosiasi untuk menolak desakan organisasi-organisasi tadi.
Ini adalah hak asasi manusia. Organisasi dunia terbesar seperti PBB mengakui ini. Kita harus berani merumuskan ini dalam sikap politk luar negeri kita dan dalam tiap kongres perdagangan atau ekonomi dunia. Namun, sayangnya dalam setiap momentum internasional itu kita justru kedodoran. Tidak mampu merumuskan kepentingan ekonomi nasional yang harus diperjuangkan akibat lemahnya sumber daya manusia yang kompeten untuk itu. Juga untuk bisa bernegosiasi dan berdiplomasi. Kita selalu terseret mengikuti kemauan negara-negara maju yang mementingkan tujuannya sendiri.
Namun, semoga kita bisa mengambil yang terbaik di ajang internasional Summit Meeting G 20 di Korea Selatan. Tahun 2014 momentum politik akan diikuti momentum ekonomi yang telah bergerak dari hari ini. Jika keduanya tidak kunjung ada perbaikan maka benturan antara keduanya akan sangat merugikan stabilitas ekonomi dan yang paling berbahaya dampak terhadap stabilitas keamanan. Karena, paling sulit diprediksi bentuknya.
Sementara itu sangat diharapkan netralitas dan kemandirian TNI Polri karena melalui intelejen-nya dapat menyumbangkan solusi bahkan memberi aspek pencegahan akan terjadinya instabilitas keamanan. Belajar dari pengalaman setiap ajang program pilkada yang akan diadakan, melalui intelejen jauh-jauh hari, pemerintah telah menginfokan kepada publik antisipasi potensi terkait akan terjadinya instabilitas keamanan.
Artinya netralitas dan kemandirian TNI Polri akan memberi sumbangsih yang penting. Terlebih untuk masalah keamanan yang lebih besar atau nasional. Maka jangan pernah menuruti dan menanggapi lagi ide-ide untuk menarik TNI Polri ke ranah politik dalam perjalanan ke tahun 2014.
Mari menyambut tahun 2014 dengan berbekal pelajaran dari pengalaman dan kemauan kuat untuk introspeksi diri, dan memperbaiki diri. Terutama bagi pemimpin dan wakil rakyat. Jangan hanya berkreativitas untuk mengumpulkan dolar sebanyak-banyaknya. Atau sekedar demi meraih keuntungan jangka pendek atau pribadi di tahun 2014. Karena, penderitaan rakyat yang berakumulasi akan seperti sebuah bom waktu.
Tentang Segala Hal Yang Bisa Menjadikan Media Informasi Sebagai Kekuatan Untuk Memobilisasi Dan Mengubah Opini Dan Cara Berpikir.
Kamis, 11 November 2010
Kamis, 28 Oktober 2010
DPRD = Pejabat Eksekutif Eselon II ?
JUDUL ASLI : DPRD = Pejabat Eksekutif Eselon II = Takut Miskin
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat 28 Oktober 2010 )
Membaca keinginan para wakil rakyat / DPRD diberi failitas, gaji dan pensiun seperti pejabat eksekutif eselon II sungguh menyedihkan dan sebuah ide yang boros.
Ini melukai hati rakyat, hal ini menjelaskan kepada rakyat betapa para wakil rakyat itu sudah salah kaprah memaknai pekerjaannya yang harusnya mengabdi dan mehasilkan solusi bagi masalah-masalah rakyat tapi yang terjadi justru menganggapnya sebagai tujuan pemantapan ekonomi pribadi. Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Sadu Wasistiono (Guru Besar IPDN), bahwa wakil rakyat seperti orang yang sedang bekerja untuk mencari uang.
Tapi yang lebih penting lagi hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa sumber masalah intinya adalah ‘kemiskinan’. Kemiskinan memang sudah menjadi hal yang menakutkan, merasuki sampai ke aspek psikologis seseorang. Ide itu mempertontontan kepada kita bahwa wakil rakyat bekerja karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan, dan berusaha mengumpulkan modal. Jiwa mereka takut akan kemiskinan. artinya mereka tidak memiliki empati terhadap masalah kemiskinan yang merupakan kopentensi dan modal mereka dalam bekerja mengabdi kepada rakyat untuk bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa menghasilkan solusi buat masalah rakyat yang terbesar yaitu menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan kalau para wakil rakyat itu sendiri takut miskin? . Pasti sangat menghawatirkan terlebih bagi wakil rakyat yang hanya lulusan SMA, setelah selesai masa pengabdian sebagai wakil rakyat tidak akan percaya diri mencari kerja dengan ijazah SMA atau menjadi pengangguran. Mereka jadi manja dan tidak kreatif. Masyarakat tahu mereka pula yang berkuasa membuat undang-undang dan peraturan, jelas saja hasilnya perundangan dan peraturan yang banyak akal-akalan untuk kepentingan tertentu dan mereka akan ogah dan sulit jika disuruh buat perudangan/peraturan efisiensi yang membatasi geraknya, seperti pembatasan / mekanisme masa pengabdian, tidak adanya uang pensiun bagi wakil rakyat, atau peraturan sanksi-sanksi atas buruknya kinerja wakil rakyat dll.
Harusnya proses rekruitmen wakil rakyat itu dilakukan dengan standar yang ketat dan dibuat peraturan mekanisme pengabdian dan pembatasan masa pengabdian dan mekanisme ajuan fasilitas wakil rakyat, sebaiknya tidak ada uang pensiun bagi wakil rakyat. Kalau mau cari uang bukan mau mengabdi kepada rakyat sebaiknya mereka buka warung / toko saja di rumah jangan membebani anggaran negara dengan berdalih mewakili kepentingan rakyat, karena masih banyak rakyat yang benar-benar membutuhkan bantuan.
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat 28 Oktober 2010 )
Membaca keinginan para wakil rakyat / DPRD diberi failitas, gaji dan pensiun seperti pejabat eksekutif eselon II sungguh menyedihkan dan sebuah ide yang boros.
Ini melukai hati rakyat, hal ini menjelaskan kepada rakyat betapa para wakil rakyat itu sudah salah kaprah memaknai pekerjaannya yang harusnya mengabdi dan mehasilkan solusi bagi masalah-masalah rakyat tapi yang terjadi justru menganggapnya sebagai tujuan pemantapan ekonomi pribadi. Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Sadu Wasistiono (Guru Besar IPDN), bahwa wakil rakyat seperti orang yang sedang bekerja untuk mencari uang.
Tapi yang lebih penting lagi hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa sumber masalah intinya adalah ‘kemiskinan’. Kemiskinan memang sudah menjadi hal yang menakutkan, merasuki sampai ke aspek psikologis seseorang. Ide itu mempertontontan kepada kita bahwa wakil rakyat bekerja karena membutuhkan pekerjaan dan penghasilan, dan berusaha mengumpulkan modal. Jiwa mereka takut akan kemiskinan. artinya mereka tidak memiliki empati terhadap masalah kemiskinan yang merupakan kopentensi dan modal mereka dalam bekerja mengabdi kepada rakyat untuk bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa menghasilkan solusi buat masalah rakyat yang terbesar yaitu menciptakan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan kalau para wakil rakyat itu sendiri takut miskin? . Pasti sangat menghawatirkan terlebih bagi wakil rakyat yang hanya lulusan SMA, setelah selesai masa pengabdian sebagai wakil rakyat tidak akan percaya diri mencari kerja dengan ijazah SMA atau menjadi pengangguran. Mereka jadi manja dan tidak kreatif. Masyarakat tahu mereka pula yang berkuasa membuat undang-undang dan peraturan, jelas saja hasilnya perundangan dan peraturan yang banyak akal-akalan untuk kepentingan tertentu dan mereka akan ogah dan sulit jika disuruh buat perudangan/peraturan efisiensi yang membatasi geraknya, seperti pembatasan / mekanisme masa pengabdian, tidak adanya uang pensiun bagi wakil rakyat, atau peraturan sanksi-sanksi atas buruknya kinerja wakil rakyat dll.
Harusnya proses rekruitmen wakil rakyat itu dilakukan dengan standar yang ketat dan dibuat peraturan mekanisme pengabdian dan pembatasan masa pengabdian dan mekanisme ajuan fasilitas wakil rakyat, sebaiknya tidak ada uang pensiun bagi wakil rakyat. Kalau mau cari uang bukan mau mengabdi kepada rakyat sebaiknya mereka buka warung / toko saja di rumah jangan membebani anggaran negara dengan berdalih mewakili kepentingan rakyat, karena masih banyak rakyat yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Jumat, 15 Oktober 2010
MENYIKAPI APBD PERUBAHAN 2010 KOTA CIMAHI
MENYIKAPI APBD PERUBAHAN 2010 KOTA CIMAHI
(Tulisan saya ini dimuat di Surat Pembaca harian Pikiran Rakyat 15 Oktober 2010, tapi saya kecewa karena tulisan & judul tulisan saya kemudian di edit oleh redaksi Pikiran Rakyat. Apakah ini pembungkaman suara rakyat?)
Selamat atas ditetapkannya APBD Perubahan 2010 Kota Cimahi, kiranya ini akan menjadi momentum penting tidak hanya bagi aparatur pemerintahan, wakil rakyat tapi juga bagi masyarakat kota Cimahi.
Penyerapan anggaran yang akan segera dilaksanakan dan direalisasikan kedalam hasil nyata bagi masyarakat kota Cimahi tidak bisa terlepas dari aspek kontrol / pengawasan dari masyarakat. Masyarakat harus ikut kritis terhadap penyerapan anggaran dan bukti-bukti hasilnya dilapangan, juga tentu diharapkan pengajuan-pengajuan anggaran dari perangkat daerah berangkat dari suatu kesadaran akan amanah yang memang diberikan untuk harus dijalankan dengan benar.
Diharapkan juga agar pemerintah daerah sering mempublikasikan kepada masyarakat hasil-hasil penyerapan anggaran yang telah dilakukan baik lewat media maupun pengumuman, agar transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik tetap terjaga atas realisasi maupun pengguanaan daripada anggaran. Semoga masyarakat Cimahi dan para wakil rakyat juga tidak segan-segan mengoreksi dan berani mengungkapkan jika menemui bukti-bukti ketidak beresan dalam pelaksanaan dan realisasi hal ini dan bagi yang dapat mengungkapkan dan menemukan bukti-bukti haruslah disokong, mendapat perlindungan hukum dan perlindungan dari wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan dan keadilan bagi rakyat.
Berangkat dari berita pada harian Pikiran Rakyat 13 Oktober 2010, di mana melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan telah terjadi kerugian negara dan daerah sebesar 26 triliun, dengan berbagai bentuk modus, seperti belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, termasuk proses pemahalan harga (mark-up), penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, pembayaran honorarium, dan/atau perjalanan dinas ganda serta spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dll. Masyarakat Cimahi tentu tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi di kotanya dan para aparatur & perangkat pemerintahan diharapkan sadar bahwa kredibiltas dan prestasinya dipertaruhkan dimata masyarakat dalam hal ini.
(Tulisan saya ini dimuat di Surat Pembaca harian Pikiran Rakyat 15 Oktober 2010, tapi saya kecewa karena tulisan & judul tulisan saya kemudian di edit oleh redaksi Pikiran Rakyat. Apakah ini pembungkaman suara rakyat?)
Selamat atas ditetapkannya APBD Perubahan 2010 Kota Cimahi, kiranya ini akan menjadi momentum penting tidak hanya bagi aparatur pemerintahan, wakil rakyat tapi juga bagi masyarakat kota Cimahi.
Penyerapan anggaran yang akan segera dilaksanakan dan direalisasikan kedalam hasil nyata bagi masyarakat kota Cimahi tidak bisa terlepas dari aspek kontrol / pengawasan dari masyarakat. Masyarakat harus ikut kritis terhadap penyerapan anggaran dan bukti-bukti hasilnya dilapangan, juga tentu diharapkan pengajuan-pengajuan anggaran dari perangkat daerah berangkat dari suatu kesadaran akan amanah yang memang diberikan untuk harus dijalankan dengan benar.
Diharapkan juga agar pemerintah daerah sering mempublikasikan kepada masyarakat hasil-hasil penyerapan anggaran yang telah dilakukan baik lewat media maupun pengumuman, agar transparansi dan keterbukaan informasi kepada publik tetap terjaga atas realisasi maupun pengguanaan daripada anggaran. Semoga masyarakat Cimahi dan para wakil rakyat juga tidak segan-segan mengoreksi dan berani mengungkapkan jika menemui bukti-bukti ketidak beresan dalam pelaksanaan dan realisasi hal ini dan bagi yang dapat mengungkapkan dan menemukan bukti-bukti haruslah disokong, mendapat perlindungan hukum dan perlindungan dari wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan dan keadilan bagi rakyat.
Berangkat dari berita pada harian Pikiran Rakyat 13 Oktober 2010, di mana melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan telah terjadi kerugian negara dan daerah sebesar 26 triliun, dengan berbagai bentuk modus, seperti belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif, rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, termasuk proses pemahalan harga (mark-up), penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, pembayaran honorarium, dan/atau perjalanan dinas ganda serta spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, dll. Masyarakat Cimahi tentu tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi di kotanya dan para aparatur & perangkat pemerintahan diharapkan sadar bahwa kredibiltas dan prestasinya dipertaruhkan dimata masyarakat dalam hal ini.
Kamis, 29 Juli 2010
Cermati Pajak Reklame Dinding Kota Cimahi
Cermati Pajak Reklame Dinding Kota Cimahi
(Tulisan Saya ini dimuat di harian Pikiran Rakyat tanggal 20 Juli 2010)
Membaca berita harian Pikiran Rakyat Senin 26 Juli 2010, saya sebagai warga Cimahi sangat terkejut dengan adanya rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding di kota Cimahi.
Pengertian yang tertulis diberita bahwa reklame dinding adalah alat peraga yang menggunakan dinding rumah atau toko sebagai ajang promosi produk. Walau dalam Perda No.6/2003 istilah reklame dinding belum ada namun telah dimasukan dalam klasifikasi untuk akan dikenakan pajak dan pemda Cimahi melalui Satpol PP –nya telah melakukan pendataan reklame dinding.
Keterkejutan saya adalah tidak adanya pertimbangan kondisi kekinian dalam rencana pajak reklame dinding ini. Saat ini masyarakat sangat terbebani dengan naiknya harga-harga terutama bahan pokok dan juga tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di kota Cimahi. Tentunya tidak sedikit warga Cimahi yang membuka usaha dengan modal pas-pasan atau usaha kecil-kecilan, juga menggunakan sarana dinding rumahnya sebagai promosi produk usaha atau jualannya.
Harus dibedakan dan didata masyarakat yang membuka usaha dengan modal kecil atau dari golongan ekonomi pas-pasan, atau mereka korban PHK yang mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan mereka yang memang pengusaha bermodal besar. Selayaknya pengenaan pajak reklame dinding tidak untuk rakyat yang berkondisi ekonomi lemah. Pasalnya, beban hidup mereka sudah berat akibat harga-harga naik, ditambah lagi dengan dikenakan pajak yang tidak adil terhadap spanduk yang mempromosikan barang yang dijual, yang kebetulan diletakkan di dinding rumahnya.
Sepertinya uji potensi pajak kota Cimahi tidak berjalan dengan bijak jika pajak reklame yang merupakan salah satu sumber PAD maupun pajak daerah kemudian diaplikasikan begitu saja. Sementara kriteria reklame dindingnya saja belum ada di perda. Jangan sampai kehilangan akal mencari potensi pajak, tetapi tetap harus mempertimbangkan dan meneliti kondisi perekonomian rakyat juga.
Sebagai warga Cimahi, saya berharap tidak dibebani dengan hal-hal yang seperti ini. Saya yakin warga Cimahi setuju dengan usaha-usaha mencari potensi pajak di kotanya tapi tidak akan setuju jika pengenaan pajak terhadap masyarakat / publik tanpa pengkajian yang mendalam ataupun pengkajian akademik terlebih dahulu.
Masyarakat harus diinformasikan dan dijelaskan maksud dan latar belakangnya sebelum setiap kebijakan publik dilaksanakan. Silahkan Satpol PP dijadikan alat untuk mendata hal-hal menyangkut pelaksanaan kebijakan publik. Namun jika pendataan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang terkait pengenaan pajak, perlu sekali pendataan tambahan terhadap latar belakang kondisi ekonomi masyarakat, tidak boleh mendata begitu saja. Jika memang Satpol PP yang ditugaskan, berarti Satpol PP memerlukan tambahan kompetensi kemampuan ilmu hubungan masyarakat yang lebih luwes dalam tugas-tugas seperti ini.
Saya juga berharap seluruh masyarakat dan juga parlemen Kota Cimahi agar peduli dan kritis terhadap rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding ini. Peduli dan juga mendorong terhadap terlaksananya penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di kota Cimahi, agar masyarakat mengetahui pungutan-pungutan dan pajak serta penggunaan anggaran yang memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Sudah tidak zamannya lagi masyarakat tidak kritis terhadap kinerja pemerintah dan parlemen. Kekuasaan itu ditangan rakyat, rakyat telah begitu besar mewakilkan dan mendelegasikan kekeuasaannya kepada parlemen dan pimpinan daerah. Dengan demikian jangan sampai amanah itu tidak untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
(Tulisan Saya ini dimuat di harian Pikiran Rakyat tanggal 20 Juli 2010)
Membaca berita harian Pikiran Rakyat Senin 26 Juli 2010, saya sebagai warga Cimahi sangat terkejut dengan adanya rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding di kota Cimahi.
Pengertian yang tertulis diberita bahwa reklame dinding adalah alat peraga yang menggunakan dinding rumah atau toko sebagai ajang promosi produk. Walau dalam Perda No.6/2003 istilah reklame dinding belum ada namun telah dimasukan dalam klasifikasi untuk akan dikenakan pajak dan pemda Cimahi melalui Satpol PP –nya telah melakukan pendataan reklame dinding.
Keterkejutan saya adalah tidak adanya pertimbangan kondisi kekinian dalam rencana pajak reklame dinding ini. Saat ini masyarakat sangat terbebani dengan naiknya harga-harga terutama bahan pokok dan juga tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di kota Cimahi. Tentunya tidak sedikit warga Cimahi yang membuka usaha dengan modal pas-pasan atau usaha kecil-kecilan, juga menggunakan sarana dinding rumahnya sebagai promosi produk usaha atau jualannya.
Harus dibedakan dan didata masyarakat yang membuka usaha dengan modal kecil atau dari golongan ekonomi pas-pasan, atau mereka korban PHK yang mencoba membuka usaha kecil-kecilan dan mereka yang memang pengusaha bermodal besar. Selayaknya pengenaan pajak reklame dinding tidak untuk rakyat yang berkondisi ekonomi lemah. Pasalnya, beban hidup mereka sudah berat akibat harga-harga naik, ditambah lagi dengan dikenakan pajak yang tidak adil terhadap spanduk yang mempromosikan barang yang dijual, yang kebetulan diletakkan di dinding rumahnya.
Sepertinya uji potensi pajak kota Cimahi tidak berjalan dengan bijak jika pajak reklame yang merupakan salah satu sumber PAD maupun pajak daerah kemudian diaplikasikan begitu saja. Sementara kriteria reklame dindingnya saja belum ada di perda. Jangan sampai kehilangan akal mencari potensi pajak, tetapi tetap harus mempertimbangkan dan meneliti kondisi perekonomian rakyat juga.
Sebagai warga Cimahi, saya berharap tidak dibebani dengan hal-hal yang seperti ini. Saya yakin warga Cimahi setuju dengan usaha-usaha mencari potensi pajak di kotanya tapi tidak akan setuju jika pengenaan pajak terhadap masyarakat / publik tanpa pengkajian yang mendalam ataupun pengkajian akademik terlebih dahulu.
Masyarakat harus diinformasikan dan dijelaskan maksud dan latar belakangnya sebelum setiap kebijakan publik dilaksanakan. Silahkan Satpol PP dijadikan alat untuk mendata hal-hal menyangkut pelaksanaan kebijakan publik. Namun jika pendataan untuk pelaksanaan kebijakan publik yang terkait pengenaan pajak, perlu sekali pendataan tambahan terhadap latar belakang kondisi ekonomi masyarakat, tidak boleh mendata begitu saja. Jika memang Satpol PP yang ditugaskan, berarti Satpol PP memerlukan tambahan kompetensi kemampuan ilmu hubungan masyarakat yang lebih luwes dalam tugas-tugas seperti ini.
Saya juga berharap seluruh masyarakat dan juga parlemen Kota Cimahi agar peduli dan kritis terhadap rencana pengenaan Pajak Reklame Dinding ini. Peduli dan juga mendorong terhadap terlaksananya penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di kota Cimahi, agar masyarakat mengetahui pungutan-pungutan dan pajak serta penggunaan anggaran yang memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Sudah tidak zamannya lagi masyarakat tidak kritis terhadap kinerja pemerintah dan parlemen. Kekuasaan itu ditangan rakyat, rakyat telah begitu besar mewakilkan dan mendelegasikan kekeuasaannya kepada parlemen dan pimpinan daerah. Dengan demikian jangan sampai amanah itu tidak untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Senin, 12 Juli 2010
Jangan Persenjatai Satpol PP !
(Tulisan Saya ini dimuat diharian Pikiran Rakyat tanggal 9 Juli 2010)
Membaca berita soal satpol akan dilengkapi senjata api, sungguh mengejutkan saya sebagai warga masyarakat.
Sangat aneh, walau Mendagri mengatakan Pemberian izin penggunaan senjata api ini sesuai Peraturan Mendagri No 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api bagi Satpol PP. Senjata api yang boleh digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick (pentungan), senjata kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api ini bisa dimiliki hingga tingkat kepala regu.Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan pistol bagi Satpol PP berisi peluru kosong. Izin kepemilikannya pun ketat dan mesti melalui tes oleh kepolisian
Bagi orang awam dan juga bagi pedagang kaki lima / PKL hal ini sangat sulit untuk dipastikan tidak terjadi penyalah gunaan atas pemakaian senjata tersebut oleh satpol. Satpol tugasnya memang mengawal tegaknya peraturan daerah tapi jika dipersenjatai seperti ini, dan melihat kehidupan perkenomian sedang sulit-sulitnya dimana harga-harga naik saya pikir persenjataan ini adalah pemborosan anggaran dan berbahaya diterapkan di lapangan, walau seketat apapun peraturan penggunaan senjata pada satpol ini, PKL dan orang awam tentu akan sangat khawatir akan munculnya bentuk baru arogansi aparat pemerintah daerah.
Para wakil rakyat, Pemda dan aparaturnya hidup dari anggaran yang diperoleh dari PAD, pajak, bahkan sebagaian dari hutang luar negeri, sedangkan PKL hidup dari keringat mendorong lapak & berjualan dibawah ancaman berbagai cuaca. Saat ini kita semua sedang sulit banyak orang kewalahan dengan kondisi perekonomian sejak TDL naik, kenapa ditambah dengan hal seperti ini yang justru bisa menumbulkan kekhawatiran bahkan mungkin kekekerasan di kehidupan masyarakat. Mungkinkah terjadi pemungutan retribusi ilegal dengan ancaman sejata?. Disatu sisi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik seperti enggan diterapkan oleh pemerintah padahal undang-undang ini bisa membuat rakyat tahu secara jelas semua bentuk pungutan apakah sudah benar mengalir untuk kesejahteraan rakyat?
Sebagai rakyat yang mana mewakili kekuasaannya pada parlemen, saya meminta dengan sangat peraturan mendagri yang mengatur kepemilikan senjata api oleh satpol ini dihapuskan saja, saya juga berharap rakyat yang sudah banyak menanggung beban hidup / sulitnya ekonomi sekarang ini, agar lebih kritis pada pemerintah. Rakyat harus ingat saat rela berkorban berpanas-panasan di bawah terik matahari dan hujan, mau turun ke jalan berkampanye untuk para wakilnya bahkan dengan diberi sedikit uang saku, dan bahkan rakyat rela berdemo jika wakilnya tidak terpilih, tapi giliran para waklinya terpilih dan membuat kebijakan publik yang tidak pro-rakyat, kemudian rakyat diam saja ! Begitu besar kekuasaan rakyat telah didelegasikan pada para wakilnya janganlah justru amanah itu tidak untuk kebaikan / kesejahteraan rakyat
Semoga tulisan saya ini bisa memberikan pemahaman bagi kita semua untuk tidak membuat hal-hal pelik ditengah kepelikan.
Membaca berita soal satpol akan dilengkapi senjata api, sungguh mengejutkan saya sebagai warga masyarakat.
Sangat aneh, walau Mendagri mengatakan Pemberian izin penggunaan senjata api ini sesuai Peraturan Mendagri No 26 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Senjata Api bagi Satpol PP. Senjata api yang boleh digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick (pentungan), senjata kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api ini bisa dimiliki hingga tingkat kepala regu.Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan pistol bagi Satpol PP berisi peluru kosong. Izin kepemilikannya pun ketat dan mesti melalui tes oleh kepolisian
Bagi orang awam dan juga bagi pedagang kaki lima / PKL hal ini sangat sulit untuk dipastikan tidak terjadi penyalah gunaan atas pemakaian senjata tersebut oleh satpol. Satpol tugasnya memang mengawal tegaknya peraturan daerah tapi jika dipersenjatai seperti ini, dan melihat kehidupan perkenomian sedang sulit-sulitnya dimana harga-harga naik saya pikir persenjataan ini adalah pemborosan anggaran dan berbahaya diterapkan di lapangan, walau seketat apapun peraturan penggunaan senjata pada satpol ini, PKL dan orang awam tentu akan sangat khawatir akan munculnya bentuk baru arogansi aparat pemerintah daerah.
Para wakil rakyat, Pemda dan aparaturnya hidup dari anggaran yang diperoleh dari PAD, pajak, bahkan sebagaian dari hutang luar negeri, sedangkan PKL hidup dari keringat mendorong lapak & berjualan dibawah ancaman berbagai cuaca. Saat ini kita semua sedang sulit banyak orang kewalahan dengan kondisi perekonomian sejak TDL naik, kenapa ditambah dengan hal seperti ini yang justru bisa menumbulkan kekhawatiran bahkan mungkin kekekerasan di kehidupan masyarakat. Mungkinkah terjadi pemungutan retribusi ilegal dengan ancaman sejata?. Disatu sisi Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik seperti enggan diterapkan oleh pemerintah padahal undang-undang ini bisa membuat rakyat tahu secara jelas semua bentuk pungutan apakah sudah benar mengalir untuk kesejahteraan rakyat?
Sebagai rakyat yang mana mewakili kekuasaannya pada parlemen, saya meminta dengan sangat peraturan mendagri yang mengatur kepemilikan senjata api oleh satpol ini dihapuskan saja, saya juga berharap rakyat yang sudah banyak menanggung beban hidup / sulitnya ekonomi sekarang ini, agar lebih kritis pada pemerintah. Rakyat harus ingat saat rela berkorban berpanas-panasan di bawah terik matahari dan hujan, mau turun ke jalan berkampanye untuk para wakilnya bahkan dengan diberi sedikit uang saku, dan bahkan rakyat rela berdemo jika wakilnya tidak terpilih, tapi giliran para waklinya terpilih dan membuat kebijakan publik yang tidak pro-rakyat, kemudian rakyat diam saja ! Begitu besar kekuasaan rakyat telah didelegasikan pada para wakilnya janganlah justru amanah itu tidak untuk kebaikan / kesejahteraan rakyat
Semoga tulisan saya ini bisa memberikan pemahaman bagi kita semua untuk tidak membuat hal-hal pelik ditengah kepelikan.
Korupsi Dan Kejujuran Dalam Sensus Penduduk Tahun 2010
(Tulisan Saya ini dimuat diharian Pikiran Rakyat tanggal 4 Mei 2010)
Menyambut Sensus Penduduk tahun 2010 yang akan dilaksanakan mulai 1 Mei 2010, Biro Pusat Statistik melalui Petugas Pencacah Lapangan akan mulai melakukan Penelusuran Wilayah di daerah, selayaknya menjadi perhatian dan dimonitor masyarakat dan rakyat benar-benar mendapatkan info dari pelaksanaan kegiatan ini.
Dalam proses ini masyarakat harus jangan segan-segan memberikan informasi kependudukan yang sesungguhnya. Kalau memang punya pekerjaan katakan sejujurnya, kalau pengangguran, tidak punya pekerjaan tetap, korban PHK, seorang sarjana tapi tidak bekerja, pedagang keliling, tinggal di rumah kontrakan / numpang di rumah keluarga, dll, katakan apa adanya, Jangan status pekerjaan tukang baso tapi menginfokan / minta ditulis status pekerjaan “swasta”, Hati-hati ini istilah umum yang bisa membuat kita dianggap bekerja sebagai “pegawai swasta”. Begitu juga sebaliknya yang punya jabatan tinggi dan punya aset banyak, dll, katakan sejujurnya. Ini penting bagi akurasi data kependudukan terkait kondisi ekonomi penduduk yang sesungguhnya dan hasil data-data ini pun sungguh sangat berguna bagi kita semua dalam pelaksanaan kegiatan bernegara. Data-data ini jangan sampai dimanipulasi oleh siapapun.
Akuratnya data kependudukan termasuk dalam hal data kondisi perekonomian penduduk akan wajib hukumnya menjadi dasar nantinya dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang terkait kepentingan publik / masyarakat banyak di wilayahnya, antara lain misalnya untuk kebijakan soal pajak. Tidak hanya dimiliki pemerintahan saja, perlu kiranya data-data hasil sensus penduduk tadi dimiliki juga oleh para wakil-wakil rakyat kita sebagai pedoman dalam tugasnya yang mengemban suara dan aspirasi rakyat, walau pada akhirnya rakyat juga akan mendapatkan publikasi atas hasil sensus penduduk ini.
Dalam APBN 2010 pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun (sumber: Pikiran Rakyat , selasa 13 April 2010). Walau demikian tetap saja dengan alasan-alasan yang dibenarkan muncul pengajuan kenaikan gaji dengan format yang fantastis, di pemerintahan dan juga parlemen.. Aneh saat penyelenggara Negara / pemerintahan disorot banyak korupsi tapi program naik gaji (PNS) tetap saja. Juga keinginan-keinginan pemekaran wilayah dan tuntutan perangkat-perangkat daerah yang minta diangkat jadi PNS. Habis saja semua anggaran dipakai buat gaji PNS / aparatur pemerintahan / penyelenggara negara, padahal kinerjanya belum tentu semua bagus tak sedikit potensi korupsi / KKN terjadi. Apa sebenarnya ukuran baku perlu -nya pemekaran wilayah? Pemekaran wilayah tidak selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak selalu menjadikan membaiknya pelayanan publik. Jangan sampai pemekaran wilayah didengungkan lebih terkesan bertujuan membagi-bagi jatah pengelolaan wilayah bagi kepentingan golongan tertentu daripada mensejahterakan rakyat.
Karena anggaran tadi pengeluarannya masih didominasi untuk gaji penyelenggara Negara dan elemenya, maka kita haruslah sangat berharap semoga hasil sensus penduduk 2010 memberikan gambaran sesungguhnya tentang keadaan penduduk disuatu wilayah dan jika nantinya terpaparkan fakta keadaan di mana lebih banyak rakyat dalam keadaan kesulitan ekonomi, pengangguran atau berpenghasilan pas-pasan di suatu daerah dan dari padanya maka tidak selalu dapat dijadikan sebagai sebuah potensi pajak maupun sebagai potensi pendapatan asli daerah, maka wajar juga perlu mengedapankan untuk pengenaan pajak yang tinggi terhadap: pejabat pemerintahan, penyelenggara Negara, anggota parlemen dan orang atau pengusaha kaya. Jangan kreatif menciptakan bentuk-bentuk pajak yang hanya malah bisa memberatkan rakyat (ekonomi lemah dan hidup pas-pasan), terlebih kini pajak juga disorot karena kasus dikorupsi dan pajak ini harus menjadi perhatian dan dikritisi oleh masyarakat dalam hal penggunaannya, apakah sudah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Serta alokasi dana-dana dari pusat yang disalurkan lewat pemerintahan daerah dalam rangka program-program untuk kesejahteraan rakyat, informasinya dan pelaksanaannya juga harus diketahui seluruh masyarakat di daerahnya.
Menyambut Sensus Penduduk tahun 2010 yang akan dilaksanakan mulai 1 Mei 2010, Biro Pusat Statistik melalui Petugas Pencacah Lapangan akan mulai melakukan Penelusuran Wilayah di daerah, selayaknya menjadi perhatian dan dimonitor masyarakat dan rakyat benar-benar mendapatkan info dari pelaksanaan kegiatan ini.
Dalam proses ini masyarakat harus jangan segan-segan memberikan informasi kependudukan yang sesungguhnya. Kalau memang punya pekerjaan katakan sejujurnya, kalau pengangguran, tidak punya pekerjaan tetap, korban PHK, seorang sarjana tapi tidak bekerja, pedagang keliling, tinggal di rumah kontrakan / numpang di rumah keluarga, dll, katakan apa adanya, Jangan status pekerjaan tukang baso tapi menginfokan / minta ditulis status pekerjaan “swasta”, Hati-hati ini istilah umum yang bisa membuat kita dianggap bekerja sebagai “pegawai swasta”. Begitu juga sebaliknya yang punya jabatan tinggi dan punya aset banyak, dll, katakan sejujurnya. Ini penting bagi akurasi data kependudukan terkait kondisi ekonomi penduduk yang sesungguhnya dan hasil data-data ini pun sungguh sangat berguna bagi kita semua dalam pelaksanaan kegiatan bernegara. Data-data ini jangan sampai dimanipulasi oleh siapapun.
Akuratnya data kependudukan termasuk dalam hal data kondisi perekonomian penduduk akan wajib hukumnya menjadi dasar nantinya dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang terkait kepentingan publik / masyarakat banyak di wilayahnya, antara lain misalnya untuk kebijakan soal pajak. Tidak hanya dimiliki pemerintahan saja, perlu kiranya data-data hasil sensus penduduk tadi dimiliki juga oleh para wakil-wakil rakyat kita sebagai pedoman dalam tugasnya yang mengemban suara dan aspirasi rakyat, walau pada akhirnya rakyat juga akan mendapatkan publikasi atas hasil sensus penduduk ini.
Dalam APBN 2010 pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun (sumber: Pikiran Rakyat , selasa 13 April 2010). Walau demikian tetap saja dengan alasan-alasan yang dibenarkan muncul pengajuan kenaikan gaji dengan format yang fantastis, di pemerintahan dan juga parlemen.. Aneh saat penyelenggara Negara / pemerintahan disorot banyak korupsi tapi program naik gaji (PNS) tetap saja. Juga keinginan-keinginan pemekaran wilayah dan tuntutan perangkat-perangkat daerah yang minta diangkat jadi PNS. Habis saja semua anggaran dipakai buat gaji PNS / aparatur pemerintahan / penyelenggara negara, padahal kinerjanya belum tentu semua bagus tak sedikit potensi korupsi / KKN terjadi. Apa sebenarnya ukuran baku perlu -nya pemekaran wilayah? Pemekaran wilayah tidak selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak selalu menjadikan membaiknya pelayanan publik. Jangan sampai pemekaran wilayah didengungkan lebih terkesan bertujuan membagi-bagi jatah pengelolaan wilayah bagi kepentingan golongan tertentu daripada mensejahterakan rakyat.
Karena anggaran tadi pengeluarannya masih didominasi untuk gaji penyelenggara Negara dan elemenya, maka kita haruslah sangat berharap semoga hasil sensus penduduk 2010 memberikan gambaran sesungguhnya tentang keadaan penduduk disuatu wilayah dan jika nantinya terpaparkan fakta keadaan di mana lebih banyak rakyat dalam keadaan kesulitan ekonomi, pengangguran atau berpenghasilan pas-pasan di suatu daerah dan dari padanya maka tidak selalu dapat dijadikan sebagai sebuah potensi pajak maupun sebagai potensi pendapatan asli daerah, maka wajar juga perlu mengedapankan untuk pengenaan pajak yang tinggi terhadap: pejabat pemerintahan, penyelenggara Negara, anggota parlemen dan orang atau pengusaha kaya. Jangan kreatif menciptakan bentuk-bentuk pajak yang hanya malah bisa memberatkan rakyat (ekonomi lemah dan hidup pas-pasan), terlebih kini pajak juga disorot karena kasus dikorupsi dan pajak ini harus menjadi perhatian dan dikritisi oleh masyarakat dalam hal penggunaannya, apakah sudah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Serta alokasi dana-dana dari pusat yang disalurkan lewat pemerintahan daerah dalam rangka program-program untuk kesejahteraan rakyat, informasinya dan pelaksanaannya juga harus diketahui seluruh masyarakat di daerahnya.
Sampai Kapan Akan Seperti Ini?
(Tulisan Saya ini dimuat di Detik.com tanggal 22 April 2010)
Sistem pemerintahan dan sistem perpajakan telah menzholimi rakyat. Karena, peraturan penyelenggaraan negara kurang mengontrol perilaku aparat negara dan dari eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang harusnya kita dapat transfer teknologi/ilmu dari pihak asing agar mandiri justru yang terjadi SDA tergadaikan. Tidak menjadi sumber pemasukan kas negara yang bisa diandalkan dan kita tidak pernah mandiri dalam teknologi untuk mengelola dan mengeksploitasi SDA.
Kas negara cenderung lebih banyak diambil dengan cara menciptakan beraneka bentuk pajak. Dan, tak sedikit yang memberatkan rakyat. Anggaran (sumbernya antara lain dari pajak dan utang luar negeri) lebih banyak dihabiskan untuk gaji pegawai pemerintah dan gaji penyelenggara negara.
APBN 2010 dinilai masih pro terhadap birokrasi dan kapitalis. Hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166, 9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010). Sedangkan pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun.
Hal ini melahirkan ketimpangan yang bermuara kejurang kecemburuan sosial dan
perpecahan umat. Anehnya tetap saja dengan mudahnya dan dengan berbagai alasan pembenaran muncul pengajuan kenaikan gaji dengan format remunirasi yang luar biasa. Seperti di Departemen Keuangan dan juga untuk anggota DPR.
Juga adanya keinginan pemekaran wilayah dan tuntutan perangkat-perangkat daerah yang minta diangkat jadi PNS. Habis saja semua anggaran dipakai buat gaji PNS / aparatur pemerintahan / penyelenggara negara. Padahal kinerjanya belum tentu semua bagus. Banyak korupsi dan KKN.
Pemekaran wilayah tidak selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak selalu menjadikan membaiknya pelayanan publik. Kecuali membaiknya kesejahteraan aparatur pemerintahannya. Pemekaran wilayah didengungkan lebih terkesan bertujuan membagi-bagi jatah pengelolaan wilayah bagi kepentingan golongan tertentu daripada mensejahterakan rakyat.
Harus dibuat lebih keras dalam memantau rekening penyelenggara negara, aparat pemerintahan, dan keluarganya. Prof Dr Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi pernah mengusulkan agar para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu terutama yang menyangkut hukum atau keuangan agar melaporkan kekayaannya. Lalu, kalau ternyata melebihi batas tertentu diberi waktu dua bulan untuk menjelaskan dari mana sumber kekayaannya itu.
Kalau tidak bisa maka berarti kekayaannya adalah hasil korupsi. Sehingga, pantas dihukum seberat-beratnya. Bahkan, bila diperlukan dengan hukuman mati. Sebaiknya tidak hanya para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu saja tapi juga pegawai dan pejabat BUMN, walikota dan wakilnya, bupati dan wakilnya, dan anggota, ketua dan wakil ketua DPR di pusat dan daerah.
Untuk SDA kita harus bisa mulai tegas bersikap mem-barter eksploitasi SDA (untuk jangka waktu tertentu) dengan transfer teknologi/ ilmu dari pihak asing. Agar kita tidak terus bergantung pada asing dan dapat mandiri mengelola dan mengeksploitasi SDA dan SDA bisa menjadi penyumbang terbesar bagi kas negara.
Kita juga punya sekolah-sekolah/ universitas bidang teknologi yang terkenal dan melahirkan ahli-ahli teknologi tak sedikit yang karena kecerdasannya mendapat beasiswa. Mereka kan bisa menjadi penerima transfer teknologi dari pihak asing dan nantinya kita tak perlu lagi pihak asing.
Kenapa ini tidak pernah jadi program jangka panjang nasional kita? Kalau kita tidak segera sadar dan memperbaiki semua ini, maka cepat atau lambat akan terjadi gejolak maupun perpecahan umat dan bangsa ini.
Sistem pemerintahan dan sistem perpajakan telah menzholimi rakyat. Karena, peraturan penyelenggaraan negara kurang mengontrol perilaku aparat negara dan dari eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang harusnya kita dapat transfer teknologi/ilmu dari pihak asing agar mandiri justru yang terjadi SDA tergadaikan. Tidak menjadi sumber pemasukan kas negara yang bisa diandalkan dan kita tidak pernah mandiri dalam teknologi untuk mengelola dan mengeksploitasi SDA.
Kas negara cenderung lebih banyak diambil dengan cara menciptakan beraneka bentuk pajak. Dan, tak sedikit yang memberatkan rakyat. Anggaran (sumbernya antara lain dari pajak dan utang luar negeri) lebih banyak dihabiskan untuk gaji pegawai pemerintah dan gaji penyelenggara negara.
APBN 2010 dinilai masih pro terhadap birokrasi dan kapitalis. Hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166, 9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010). Sedangkan pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun.
Hal ini melahirkan ketimpangan yang bermuara kejurang kecemburuan sosial dan
perpecahan umat. Anehnya tetap saja dengan mudahnya dan dengan berbagai alasan pembenaran muncul pengajuan kenaikan gaji dengan format remunirasi yang luar biasa. Seperti di Departemen Keuangan dan juga untuk anggota DPR.
Juga adanya keinginan pemekaran wilayah dan tuntutan perangkat-perangkat daerah yang minta diangkat jadi PNS. Habis saja semua anggaran dipakai buat gaji PNS / aparatur pemerintahan / penyelenggara negara. Padahal kinerjanya belum tentu semua bagus. Banyak korupsi dan KKN.
Pemekaran wilayah tidak selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak selalu menjadikan membaiknya pelayanan publik. Kecuali membaiknya kesejahteraan aparatur pemerintahannya. Pemekaran wilayah didengungkan lebih terkesan bertujuan membagi-bagi jatah pengelolaan wilayah bagi kepentingan golongan tertentu daripada mensejahterakan rakyat.
Harus dibuat lebih keras dalam memantau rekening penyelenggara negara, aparat pemerintahan, dan keluarganya. Prof Dr Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi pernah mengusulkan agar para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu terutama yang menyangkut hukum atau keuangan agar melaporkan kekayaannya. Lalu, kalau ternyata melebihi batas tertentu diberi waktu dua bulan untuk menjelaskan dari mana sumber kekayaannya itu.
Kalau tidak bisa maka berarti kekayaannya adalah hasil korupsi. Sehingga, pantas dihukum seberat-beratnya. Bahkan, bila diperlukan dengan hukuman mati. Sebaiknya tidak hanya para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu saja tapi juga pegawai dan pejabat BUMN, walikota dan wakilnya, bupati dan wakilnya, dan anggota, ketua dan wakil ketua DPR di pusat dan daerah.
Untuk SDA kita harus bisa mulai tegas bersikap mem-barter eksploitasi SDA (untuk jangka waktu tertentu) dengan transfer teknologi/ ilmu dari pihak asing. Agar kita tidak terus bergantung pada asing dan dapat mandiri mengelola dan mengeksploitasi SDA dan SDA bisa menjadi penyumbang terbesar bagi kas negara.
Kita juga punya sekolah-sekolah/ universitas bidang teknologi yang terkenal dan melahirkan ahli-ahli teknologi tak sedikit yang karena kecerdasannya mendapat beasiswa. Mereka kan bisa menjadi penerima transfer teknologi dari pihak asing dan nantinya kita tak perlu lagi pihak asing.
Kenapa ini tidak pernah jadi program jangka panjang nasional kita? Kalau kita tidak segera sadar dan memperbaiki semua ini, maka cepat atau lambat akan terjadi gejolak maupun perpecahan umat dan bangsa ini.
Cermati Raperda Minuman Beralkohol
(Tulisan Saya ini dimuat diharian Pikiran Rakyat tanggal 28 Februari 2010)
Mengutip respons Wali Kota Bandung di media massa soal Raperda Minuman beralkohol, sepertinya para ulama dan masyarakat perlu mencermati dan berhati-hati, sebagaimana kutipannya, ”Makna dari pengendalian minuman beralkohol adalah dilakukannya upaya-upaya dalam rangka mengatur dan mencegah transaksi jual beli atau serah terima minuman beralkohol yang bukan pada tempatnya dan atau melibatkan orang yang belum dewasa.”
Padahal, sudah jelas minuman ini diharamkan. Namun, hal di atas jelas memberikan tempat bagi eksisnya minuman beralkohol dan memberikan patokan umur bagi seseorang untuk dapat menikmatinya. Ini artinya, tarian bugil (yang juga haram) yang beberapa waktu lalu heboh di Kota Bandung juga bisa diatur sama nantinya.
Kutipan selanjutnya: ”Penjualan langsung minuman beralkohol golongan A, B, dan C serta untuk tujuan kesehatan, hanya diizinkan dijual secara umum untuk diminum langsung di tempat usaha (seperti hotel berbintang, kelab-kelab)….”
Setahu kami, minuman beralkohol yang diperjualbelikan di tempat-tempat umum apalagi di hotel-hotel ataupun kelab-kelab jelas tidak pernah untuk tujuan kesehatan dan tidak ada kontrol seberapa banyak orang boleh meminumnya. Eksesnya memabukkan, dan terpikirkankah oleh Anda, jika tubuh sudah terpengaruh alkohol, lalu kecenderungan/bahaya apa yang akan dilakukan para peminum alkohol setelah keluar dari hotel atau kelab-kelab itu?
Kutipan selanjutnya: ”Tujuan disusunnya peraturan daerah ini untuk membatasi perdagangan minuman beralkohol dan memudahkan koordinasi antarinstansi terkait terhadap pelanggaran perdagangan dan atau pengadaaan minuman beralkohol, serta menjamin kepastian hukum atas tarif retribusi.” Ini yang selalu menarik untuk dicermati. Tetap saja ada ide kreatif yang muncul untuk pemasukan retribusi daerah, walaupun barang haram yang jadi sumbernya.
Jelas, harus ditolak raperda yang model begini. Ini sama saja liberalisme alkohol terselubung. Jelas, ini bukan untuk tujuan kemajuan pariwisata dan kesehatan masyarakat Kota Bandung!
Mengutip respons Wali Kota Bandung di media massa soal Raperda Minuman beralkohol, sepertinya para ulama dan masyarakat perlu mencermati dan berhati-hati, sebagaimana kutipannya, ”Makna dari pengendalian minuman beralkohol adalah dilakukannya upaya-upaya dalam rangka mengatur dan mencegah transaksi jual beli atau serah terima minuman beralkohol yang bukan pada tempatnya dan atau melibatkan orang yang belum dewasa.”
Padahal, sudah jelas minuman ini diharamkan. Namun, hal di atas jelas memberikan tempat bagi eksisnya minuman beralkohol dan memberikan patokan umur bagi seseorang untuk dapat menikmatinya. Ini artinya, tarian bugil (yang juga haram) yang beberapa waktu lalu heboh di Kota Bandung juga bisa diatur sama nantinya.
Kutipan selanjutnya: ”Penjualan langsung minuman beralkohol golongan A, B, dan C serta untuk tujuan kesehatan, hanya diizinkan dijual secara umum untuk diminum langsung di tempat usaha (seperti hotel berbintang, kelab-kelab)….”
Setahu kami, minuman beralkohol yang diperjualbelikan di tempat-tempat umum apalagi di hotel-hotel ataupun kelab-kelab jelas tidak pernah untuk tujuan kesehatan dan tidak ada kontrol seberapa banyak orang boleh meminumnya. Eksesnya memabukkan, dan terpikirkankah oleh Anda, jika tubuh sudah terpengaruh alkohol, lalu kecenderungan/bahaya apa yang akan dilakukan para peminum alkohol setelah keluar dari hotel atau kelab-kelab itu?
Kutipan selanjutnya: ”Tujuan disusunnya peraturan daerah ini untuk membatasi perdagangan minuman beralkohol dan memudahkan koordinasi antarinstansi terkait terhadap pelanggaran perdagangan dan atau pengadaaan minuman beralkohol, serta menjamin kepastian hukum atas tarif retribusi.” Ini yang selalu menarik untuk dicermati. Tetap saja ada ide kreatif yang muncul untuk pemasukan retribusi daerah, walaupun barang haram yang jadi sumbernya.
Jelas, harus ditolak raperda yang model begini. Ini sama saja liberalisme alkohol terselubung. Jelas, ini bukan untuk tujuan kemajuan pariwisata dan kesehatan masyarakat Kota Bandung!
Cermati Uji Potensi Pajak Daerah Kota CImahi
(Tulisan Saya ini telah pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat, tapi saya lupa tanggal-nya)
Sehubungan akan dilakukannya Uji Potensi Pajak Daerah, Dinas Pendapatan Daerah Kota Cimahi melalui pembentukan sebuah tim khusus, kiranya masyarakat dan elemen masyarakat (Cimahi khususnya) harus mencermati dan mengawasi rencana ini.
Adalah harus dipahami program Uji Potensi Pajak Daerah merupakan bagian dari proses pembentukan kebijakan pemerintah daerah yang akan menyangkut kepentingan publik / masyarakat sebagaimana juga rancangan peraturan daerah kota Cimahi tentang pelayanan publik, artinya masyarakat harus kritis dalam mencermatinya dan berpartisipasi, serta harus transparan dalam proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan ini agar jangan kontrol penguasa lebih besar daripada kontrol masyarakat atas pembentukan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan publik dan masyarakat benar-benar mendapatkan yang terbaik dari pelaksanaan kebijakan ini, bukan semata untuk kepentingan golongan. Atau sebuah kebijakan atau raperda itu selesai dibuat kemudian dilaksanakan tapi masyarakat tidak pernah tahu bagaimana proses pembuatannya dan apa isinya.
Pajak Daerah selain harus diterapkan dengan adil dan bijak tepat sasaran juga jangan malah memberatkan masyarakat terutama masyarakat kecil dan berekonomi lemah. Jangan sampai seorang korban PHK ataupun pemula usaha dengan modal dan hasil usahanya pas-pas-an justru didatangi pihak pemda untuk di mintakan pajak yang tidak adil / tidak sesuai dengan apa yang dihasilkannya, yang semestinya jika ada hal seperti ini pihak pemda justru mendatanginya bukan untuk pajak tapi untuk penyuluhan dan pembinaan usahanya agar lebih maju. Juga untuk masyarakat yang memiliki lahan tapi karena kondisi ekonomi lamah, tidak mampu membayar pajak (PBB). Kenapa demikian? Milihat banyaknya korban PHK di kota Cimahi ditahuin 2008 sejumlah 2000 orang dan tahun 2009 sebesar 1.084 ini adalah angka pengangguran yang tinggi belum lagi angka penduduk berkondisi ekonomi lemah. Jika mereka beralih menjadi pedagang makanan, buka warung atau membuka restoran kecil-kecilan atau usaha lain, dengan modal dan penghasilan usaha yang pas-pasan hal ini sewajarnya menjadi perhatian kita.
Jangan pula kita lupa setiap program terkait pendapatan asli daerah haruslah juga diikuti dengan semakin baiknya pelayanan publik dari pemerintah daerah. Tidak ada lagi pungutan liar dan mempersulit warga masyarakat dalam pelayanan publik. Pajak benar dan transparan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat dan tidak dikorupsi. Tidak ada pemanfaatan pajak yang berasal dari hal-hal yang haram seperti miras, dll.
Setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, selain masyarakat ikut terlibat di dalamnya juga harus teruji di lapangan dalam pelaksanaannya. Setiap masyarakat menemukan hal yang tidak beres / tidak sesuai, tidak boleh segan mengungkap-nya. Semoga tim khusus yang dibentuk benar pro kepada rakyat dan kontrol dari wakil rakyat kota Cimahi di DPRD juga berjalan dalam hal ini karena pembelajaran politik rakyat tidak hanya saat mau pemilu atau saat mau pilkada saja.
Sehubungan akan dilakukannya Uji Potensi Pajak Daerah, Dinas Pendapatan Daerah Kota Cimahi melalui pembentukan sebuah tim khusus, kiranya masyarakat dan elemen masyarakat (Cimahi khususnya) harus mencermati dan mengawasi rencana ini.
Adalah harus dipahami program Uji Potensi Pajak Daerah merupakan bagian dari proses pembentukan kebijakan pemerintah daerah yang akan menyangkut kepentingan publik / masyarakat sebagaimana juga rancangan peraturan daerah kota Cimahi tentang pelayanan publik, artinya masyarakat harus kritis dalam mencermatinya dan berpartisipasi, serta harus transparan dalam proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan ini agar jangan kontrol penguasa lebih besar daripada kontrol masyarakat atas pembentukan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan publik dan masyarakat benar-benar mendapatkan yang terbaik dari pelaksanaan kebijakan ini, bukan semata untuk kepentingan golongan. Atau sebuah kebijakan atau raperda itu selesai dibuat kemudian dilaksanakan tapi masyarakat tidak pernah tahu bagaimana proses pembuatannya dan apa isinya.
Pajak Daerah selain harus diterapkan dengan adil dan bijak tepat sasaran juga jangan malah memberatkan masyarakat terutama masyarakat kecil dan berekonomi lemah. Jangan sampai seorang korban PHK ataupun pemula usaha dengan modal dan hasil usahanya pas-pas-an justru didatangi pihak pemda untuk di mintakan pajak yang tidak adil / tidak sesuai dengan apa yang dihasilkannya, yang semestinya jika ada hal seperti ini pihak pemda justru mendatanginya bukan untuk pajak tapi untuk penyuluhan dan pembinaan usahanya agar lebih maju. Juga untuk masyarakat yang memiliki lahan tapi karena kondisi ekonomi lamah, tidak mampu membayar pajak (PBB). Kenapa demikian? Milihat banyaknya korban PHK di kota Cimahi ditahuin 2008 sejumlah 2000 orang dan tahun 2009 sebesar 1.084 ini adalah angka pengangguran yang tinggi belum lagi angka penduduk berkondisi ekonomi lemah. Jika mereka beralih menjadi pedagang makanan, buka warung atau membuka restoran kecil-kecilan atau usaha lain, dengan modal dan penghasilan usaha yang pas-pasan hal ini sewajarnya menjadi perhatian kita.
Jangan pula kita lupa setiap program terkait pendapatan asli daerah haruslah juga diikuti dengan semakin baiknya pelayanan publik dari pemerintah daerah. Tidak ada lagi pungutan liar dan mempersulit warga masyarakat dalam pelayanan publik. Pajak benar dan transparan penggunaannya untuk kepentingan masyarakat dan tidak dikorupsi. Tidak ada pemanfaatan pajak yang berasal dari hal-hal yang haram seperti miras, dll.
Setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, selain masyarakat ikut terlibat di dalamnya juga harus teruji di lapangan dalam pelaksanaannya. Setiap masyarakat menemukan hal yang tidak beres / tidak sesuai, tidak boleh segan mengungkap-nya. Semoga tim khusus yang dibentuk benar pro kepada rakyat dan kontrol dari wakil rakyat kota Cimahi di DPRD juga berjalan dalam hal ini karena pembelajaran politik rakyat tidak hanya saat mau pemilu atau saat mau pilkada saja.
Rabu, 23 Juni 2010
Media Informasi Sebagai Alat Memobilisasi Pikiran, Presepsi dan Opini Manusia
Kita semua tahu bagaimana pesatnya teknologi informasi saat ini dan telah merasuki ke sendi-sendi kehidupan manusia bahkan bisa merubah pribadi manusia. Media informasi yang bersifat umum ( seperti koran, majalah,dll) dan yang bersifat pribadi ( komputer, ponsel, TV, dll) telah terintegrasi dalam menyalurkan bentuk-bentuk informasi.
Dari sekian banyak tujuan penggunaan media informasi adalah sebagai alat untuk memobilisasi pikiran, presepsi dan opini manusia atas suatu hal. Kalau berbicara era kuno ( perang dingin atau perang dunia) kita mengenal istilah propaganda maka sarana yang dipakai untuk menjalankan propaganda adalah media-media informasi. Sampai hari ini hal serupa masih ada namun dalam kemasan berbeda. Dalam perkembangan kekinian lebih sering diarahkan untuk tujuan mengintervensi pandangan politik, daya beli, daya saing dan ketahanan moral.
Namun yang menarik bagi saya adalah kasus video mirip Ariel yang ramai baru berselang, adalah saat media informasi itu mengintervensi ketahanan moral dan juga dalam kasus politik dan hukum seperti kasus Bibit - Chandra dan kasus pajak Gayus yang mana media informasi sebenarnya telah meneguhkan peran pentingnya merubah presepsi masyarakat dan mengumpulnya suara rakyat yang bisa mempengaruhi kebijakan penguasa dan kehidupan berbangsa.
Kasus video mirip Ariel sangat terkait dengan pengaruh globalisasi informasi kehidupan orang barat (gaya hidup), yang berawal dari tujuan-tujuan ekonomi asing ke Indonesia untuk konsumerisme kemudian prilaku orang Indonesia dipengaruhi (mencontoh gaya orang barat). Mencontoh adalah sifat manusia apalagi mencontoh hal-hal yang cendrung fashionable dan yang lagi trend. Lalu apakah merekam adegan intim yang juga sudah banyak kasus terjadi sebelumnya di negeri ini, adalah trend atau adanya salah presepsi atas fungsi perangkat teknologi bagi manusia ?
Pertanyaan silahkan dijawab sendiri dan kalau bisa menjawab akan sangat menggugah kesadaran Anda (jka anda orang normal).
Dalam kasus Bibit-Chandra dan Gayus sebenarnya sama dengan di atas dimana globalisasi informasi gaya hidup barat via facebook dengan menggalang dukungan untuk Bibit-Chandra atau memboikot bayar pajak telah memobilisasi pikiran merubah presepsi dan opini masyarakat atas prilaku penegak hukum, penyelenggara negara dan pebisnis. Namun jelas dampak yang diakibatkan beda dengan kasus video mirip Ariel.
Luar biasa kekuatan media informasi dalam memobilisasi pemikiran, presepsi dan opini manusia!!
Rasulullah SAW dalam menegakan Islam dan mendirikan negara Islam pertama di Madinah membatasi perjuangannya pada area intelektual dan politik, beliau berjuang tanpa kekerasan, berjuang memobilisasi presepsi dan opini publik agar mendukung Islam dan mempengaruhi kelompok elit intelektual pada zamannya walau harus mengalami berbagai penyiksaan dan pemboikotan. Apakah saat ini pihak asing telah mencontoh metode Rasullulah SAW ini dengan kemasan yang lain ? Bisa jadi ya.
Tapi kita harusnya sangat sadar metode memobilisasi opini dan presepsi ini harusnya kita contoh dalam menegakkan kekuasaan rakyat yang sudah sering diabaikan oleh para wakil rakyat di pemerintahan dan parlemen yang sering membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat seperti kasus dana aspirasi, kasus raperda miras di Bandung, penerapan undang-undang keterbukaan informasi publik yang sepertinya enggan diterapkan penyelenggara negara, dan banyak kasus lainnya dimana memperlihatkan para wakil rakyat bisa leluasa mengutak atik perundangan untuk tujuan sesaat dan membuatnya untuk kepentingan golongannya sendiri.
Media informasi adalah sebuah perangkat yang memiliki kekuatan merubah pemikiran, presepsi maupun opini manusia, ia bisa untuk tujuan positif maupun sebaliknya. Semoga rakyat indonesia bisa menyadari dan tahu perbedaan fungsinya.
Langganan:
Postingan (Atom)